Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berencana membangun fasilitas pangkalan pendaratan rumput laut di Kabupaten Sumba Timur, memanfaatkan pelabuhan yang sudah ada. Lokasi yang menurutnya ideal adalah di Dusun Hangaroru, Desa Tana Manang, Kecamatan Pahungalodu.
Menurut Susi, pangkalan pendaratan rumput laut pertama di Indonesia tersebut serupa dengan pangkalan pendaratan ikan (PPI) pada umumnya. “Seluruh petani atau pembudidaya boleh membawa rumput laut ke situ untuk dilelang. Jadi harga bisa dikendalikan dengan baik,” kata Susi dikutip dari laman Kementerian Kelautan dan Perikanan, Senin (13/4).
Pemerintah pusat maupun daerah menurut Susi tidak diperkenankan untuk menentukan harga minimal, semuanya harus dilakukan sesuai mekanisme pasar. “Idealnya dilelang di tempat pelelangan, sehingga bisa menguntungkan semua pihak, terutama petani atau pembudidaya,” tambah Susi. Sumba Timur sendiri dikenal sebagai salah satu lokasi pembudidayaan rumput laut dengan kapasitas produksi sebanyak 20 ton rumput laut sekali panen.
Di Sumba Timur, saat ini sudah berdiri pabrik rumput laut yang mengolah bahan baku menjadi barang setengah jadi sebelum dikirim ke Jakarta, Malang, Surabaya, dan Mataram. Perusahaan bernama PT Algae Sumba Timur Lestari (ASTIL) itu memiliki kapasitas produksi 6 ton rumput laut mentah per hari dan bisa mendukung Sumba Timur sebagai kawasan minapolitan berbasis rumput laut
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan bakal memeriksa lebih lanjut laporan dugaan praktik monopoli dalam tata niaga rumput laut di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebelumnya temuan tersebut diungkapkan oleh Kantor Perwakilan Daerah (KPD) KPPU di Surabaya yang telah melakukan kajian dan menemukan bukti pendahuluan.
Ketua KPPU M. Syarkawi Rauf menjelaskan berdasarkan laporan awal tersebut, KPPU menduga tata niaga rumput laut di wilayah Sumba Timur, NTT dikuasai oleh satu pelaku usaha yang menguasai penerimaan pasokan dan menjadi pembeli tunggal produk rumput laut.
Parahnya, perilaku dari pelaku usaha tersebut difasilitasi pula oleh izin yang ditandatangani oleh Kepala Badan Penanaman Modal dan Layanan Perizinan Kabupaten Sumba Timur, NTT. “Atas temuan diatas, KPPU akan melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran persaingan usaha tidak sehat tersebut,” ujar Syarkawi melalui keterangan pers, tanpa menyebutkan identitas perusahaan yang dimaksud, Rabu (2/9).
Apabila terbukti terjadi pelanggaran, Syarkawi menegaskan KPPU akan mengambil tindakan dengan menjatuhkan sanksi kepada pelaku usaha yang terbukti melakukukan praktek monopoli serta memberikan saran dan pertimbangan terkait kebijakan yang memfasilitasi praktek monopoli dalam tata niaga rumput laut.
Syarkawi mengatakan, Indonesia merupakan salah satu penghasil rumput laut terbesar di dunia. Namun, sayangnya hal ini tidak membuat kondisi ekonomi dalam negeri bahkan kondisi nelayan mengalami peningkatan. Sebab mayoritas rumput laut masih diekspor dalam bentuk mentah, karena Indonesia belum mampu mengolahnya menjadi produk turunan seperti makanan, farmasi, kosmetik, dan produk olahan lainnya.
“Lebih dari 80 persen rumput laut Indonesia dialokasikan untuk kepentingan pasar ekspor ke China, Filipina, Korea Selatan, serta beberapa negara Uni Eropa,” ujarnya. Menurut data sementara di Kementerian Kelautan dan Perikanan, produksi rumput laut nasional pada 2014 mencapai 10,2 juta ton yang meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Namun Syarkawi menyayangkan tingkat produksi yang tinggi tersebut tidak diimbangi oleh kemampuan industri dalam negeri untuk mengolah rumput laut sehingga memiliki nilai jual yang lebih tinggi.
Ia menilai menjelang dimulainya kesepakatan kerjasama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Indonesia sebaiknya berbenah diri karena akan banyak investor asing yang memanfaatkan kondisi tersebut. “Perlu kebijakan dari Pemerintah terkait produksi dan distribusi dari hulu hingga hilir. Tanpa adanya regulasi yang jelas, maka tidak menutup kemungkinan akan terjadi penyimpangan dan merugikan beberapa pihak terutama nelayan rumput laut yang posisinya berada di strata paling bawah jalur distribusi,” ujarnya.
Kesepakatan kerjasama Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) memang belum dimulai, namun gaungnya sudah membuat para pelaku industri rumput laut yang tergabung dalam Asosiasi Industri Rumput Laut Indonesia (Astruli) ketar-ketir. Asosiasi melihat meskipun MEA belum dimulai, banyak investor asing yang mulai melirik Indonesia dan siap menggusur produksi industri lokal yang terkendala keterbatasan modal.
"Kalau itu terjadi memang dari sisi pemerintah akan sangat bagus karena berarti investor banyak yang masuk ke Indonesia, tapi kami industri dalam negeri jujur ketar-ketir karena akan mendapatkan pesaing yang berat," kata Wakil Ketua Umum Astruli Sasmoyo S. Boesari saat berdialog dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti di kantornya, Jakarta, Senin (4/5).
Sasmoyo menilai Indonesia harus mewaspadai Filipina sebagai negara saingan produsen rumput laut terberat bagi Indonesia. Meski Indonesia terkenal sebagai penghasil rumput laut terbesar di dunia, tetapi faktanya industri-industri dalam negeri sulit bersaing mendapatkan bahan baku. Penyebabnya adalah sebesar 70 hingga 80 persen rumput laut mentah diekspor ke Tiongkok dengan harga yang lebih tinggi.
“Kami tahu kalau Tiongkok adalah pengimpor rumput laut terbesar di dunia tapi mereka mendapat stimulus dan insentif dari negaranya sekitar 15-35 persen. Sehingga kami di dalam negeri betul-betul harus berjuang keras untuk bersaing mendapatkan bahan baku," katanya. Hal ini yang menurut Sasmoyo menyulitkan pelaku industri dalam mendapatkan bahan baku untuk diolah menjadi produk yang memiliki nilai tambah. "Bukan karena tidak ada bahan baku tapi karena kami kalah dalam hal harga," katanya.
Ia sangat berharap pemerintah bisa memberikan insentif agar industri rumput laut di Indonesia bisa berkembang dan tahan dari gempuran pasar Asean. "Pertanyaannya, kebijakan apa yang akan diberikan oleh pemerintah agar industri ini tidak mati di lumbung padi," katanya.
No comments:
Post a Comment