"Perjanjianya itu perjanjian kerja biasa. Artinya perusahaan outsourcing membuat perjanjian kerja untuk menyediakan layanan tertentu secara khusus kepada user (perusahan pemberi kerja) sesuai dengan bidang keahlian perusahaan yang outsourcing yang bersangkutan," kata Elisa dalam diskusi di Jakarta, Jumat (29/4/2016)
Misalnya di ISS, Elisa menjelaskan, layanan yang diberikan seperti security (tenaga keamanan), cleaning service (layanan kebersihan) dan sebagainya. Perusahaan lain bisa juga berbentuk layanan IT, provider call center, transportasi pegawai dan banyak lagi. Selain itu, bidang pekerjaan outsourcing tidak mencakup dari bisnis utama perusahaan pengguna. Misalnya, perusahaan telekomunikasi tak boleh mempekerjakan pegawai outsourcing untuk pekerjaan berkaitan telekomunikasi.
Sedangkan penghasilan perusahaan outsourcing ditetapkan atas perjanjian dengan perusahaan pengguna. "Ada dua jenis ya. Yang harus tahu itu yang benarnya seperti apa? Yang benar, saat perjanjian kerja harus disepakati bahwa komponen kontrak kerja yang harus dibayarkan adalah 90% untuk upah kerja dan tunjangan-tunjangan. Baru 10% adalah manajemen fee.
"Perusahaan outsourcing yang benar tidak akan menganggu porsi yang 90% itu. Dan yang 10% dari kontrak itu baru lah untuk perusahaan outsourcingnya sebagai pendapat. Nggak semuanya digunakan untuk membayar gaji pengelola perusahaan, tapi ada juga untuk pelatihan-pelatihan peningkatan mutu tenaga kerja." tambah Elisa.
Elisa menjelaskan, yang perlu diketahui, ada praktik outsourcing yang salah juga. Bagaimana pun, ada sajauser yang menawar murah. Tentu saja ada konsekuensi bagi perusahaan outsourcing yang mau ambil kontrak murah itu. Gaji jelas ditekan seminim mungkin supaya masuk dengan harga yang ditawarkan.
Kemudian, pendapatan perusahaan outsourcing juga bukan dari kontrak penyediaan biaya manajemen, tetapi dari memangkas gaji karyawannya. Itu praktik yang salah, tapi justru banyak dilakukan. Sistem outsourcing di Indonesia punya kesan yang kurang baik. Kalangan pekerja berpandangan bahwa perusahaan outsourcing memangkas pendapatan yang harusnya mereka dapat dari perusahaan pemberi kerja.
Direktur Utama ISS Elisa Lumbatoruan mengatakan, pendapat tersebut kurang tepat karena berdasarkan pemahaman yang kurang terkait sistem pengupahan. "Sebenarnya yang terjadi tidak seperti itu. Dalam perjanjian kerja, khususnya yang kami terapkan di ISS ada perhitungan pendapatan yang diperoleh seorang karyawan," tutur dia memulai penjelasannya di Kaffein, Jakarta, Jumat (29/4/2016).
Ia menjelaskan, dalam perjanjian kerja antara perusahaan outsourcing atau penyedia jasa dengan perusahaan pemberi kerja atau yang lebih dikenal sebagai user, umumnya diperhitungkan bahwa biaya yang dibayarkan untuk satu orang karyawan adalah 1,8 kali dari upahnya. Secara sederhana, bila seorang pegawai outsourcing memiliki gaji Rp 1 juta, maka dari perusahaan user yang dibayarkan adalah Rp 1,8 juta. Lalu kenapa yang dibayarkan hanya Rp 1 juta?
"Nah, jadi perhitungannya gini, kan gaji dia misal Rp 1 juta, kemudian ada biaya untuk bayar Jamsostek, dan biaya-biaya jaminan kerja yang lain. Ditambah lagi 1/12 gaji yang bila diakumulasi setahun akan jadi THR (Tunjangan Hari Raya). Jadi begitu perhitungannya," kata Elisa. Namun, hal ini sering disalahartikan oleh pekerja yang kurang pengetahuan. Mereka beranggapan bahwa seharusnya pendapatan yang mereka peroleh lebih besar dari yang seharusnya mereka dapat saat ini.
"Padahal, kalau mereka tahu, sebenarnya uang itu semua untuk mereka. Namun ada yang diserahkan dalam bentuk gaji penuh, sebagiannya untuk membayar jaminan-jaminan tadi sesuai undang-undang ketenagakerjaan," tutur dia.
Perusahaan alih daya atau biasa disebut outsourcing kerap diidentikkan dengan masalah hubungan ketenagakerjaan di Indonesia. Sehingga banyak yang menolak keberadaan outsourcing di Indonesia. Pengamat kebijakan publik dari Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Hadi Subhan berpandangan, tak ada yang salah dengan keberadaan outsourcing. Lalu mengapa outsourcing sering dikeluhkan banyak tenaga kerja di Indonesia?
"Ada dua hal yang menyebabkan keruwetan masalah outsourcing di Indonesia," kata Subhan dalam diskusi berjudul Outsourcing dan Penciptaan Lapangan Kerja di Kaffein, Jakarta, Jumat (29/4/2016). Pertama, kata dia, adalah keberadaan oknum yang melanggar undang-undnag outsourcing. Oknum itu, menurut Subhan, bisa datang dari sisi perusahaan yang menggunakan jasa outsourcing maupun perusahaan yang menyelenggarakan outsourcing.
"Contoh pelanggaran yang dilakukan perusahan pengguna outsourcing adalah perusahaan yang menyelenggarakan telekomunikasi tapi justru yang di-outsourcing-kan adalah kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan telekomunikasi. Itu kan core bisnis, sesuai undang-undang itu nggak boleh, berarti dia melanggar," kata dia. Sementara contoh untuk pelanggaran yang dilakukan perusahaan penyelenggara outsourcing adalah masalah pemenuhan hak tenaga kerja outsourcing.
"Ada perusahaan yang mau melaksanakan outsourcing, tapi nggak mau ikut aturan mainnya. Misalnya gaji nggak dibayarkan sesuai UMR (Upah Minimum Regional), tidak memberikan tunjangan yang sesuai, tak mengikutkan karyawan Jamsostek atau sekarang namanya BPJS Ketenagakerjaan," papar Subhan. Subhan melanjutkan, masalah kedua penyebab keruwetan outsourcing di Indonesia adalah minimnya pengawasan. Ketika terjadi kesalahan katakanlah seperti perusahaan telekomunikasi di atas, itu tidak ditindak tegas oleh Pemerintah.
"Karena tidak ditindak tegas, makin lama makin banyak yang melanggar. Pelanggarannya makin masif. Tapi ketika makin banyak yang melanggar, pemerintah makin kelimpungan, yang disalahkan penyelenggaranya. Penyelenggara outsourcing dikambinghitamkan seolah perusahaan outsourcing itu salah," ungkap dia.
Menurutnya, keberadaan outsourcing tidak salah, hanya saja banyak oknum yang melanggar dan didiamkan oleh penegak hukum sehingga membuat sektor ini kian buruk citranya di dunia kerja Indonesia. "Yang tidak tepat pada outsourcing bukan pada aspek legalnya, tetapi pada implementasinya. Pada penegakan hukumnya," tegas dia. Hadir dalam diskusi kali ini juga adalah Direktur INDEF, Enny Srihartati dan Direktur Utama ISS Elisa Lumbatoruan.
Salah satu masalah outsourcing di Indonesia adalah penegakan hukum. Ini karena kurangnya ketersediaan tenaga pengawas, sehingga penegakan hukum menjadi hal yang nyaris mustahil di lakukan. "Di Jawa Timur ada 35.000 perusahaan tapi tenaga pengawas hanya sekitar 160 orang. Bagaimana mungkin bisa diawasi ada pelanggaran atau tidak kalau tenaga pengawasnya minim," ujar Subhan.
Masalah kedua, tidak adanya anggaran pengawasan disediakan pemerintah. "Sekarang bagaimana kalau pengawas mau mengawasi, kalau anggarannya nggak tersedia. Transportasinya tidak disediakan dan sebagainya. Memang itu pengawas disuruh naik undur-undur (sejenis serangga yang berjalan mundur). Jadi di situ masalahnya," ujar dia.
Tak adanya pengawasan ini menyebabkan banyak pelanggaran dalam pelaksanaan outsourcing alias alih daya. Dari mulai pengupahan yang minim dan tidak sesuai ketentuan, hingga tidak adanya kejelasan nasib pekerja.
No comments:
Post a Comment