Saturday, April 23, 2016

Rendahnya Harga Beli Susu Ditingkat Peternak Sebabkan Susu Segar Indonesia Tidak Mampu Bersaing

Harga susu yang rendah di tingkat peternak sapi perah menjadi salah satu penyebab menyusutnya jumlah sapi perah di Indonesia. Hal ini otomatis berimbas pada jumlah produksi susu sapi. "Produksi susu turun dalam lima tahun terakhir karena tidak ada revisi harga susu dan harga pakan. Serta naiknya harga daging sapi," kata Rias Dyahtri Silvana, Ketua KUTT Suka makmur Grati Pasuruan ketika ditemui pada acara Penutupan Farmer2farmer Frisian Flag di Jakarta, Jumat (22/4).

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian pada 2015, peternak sapi lokal hanya mampu menyediakan 23 persen atau 805.363 ton kebutuhan susu sapi nasional.  Untuk menutupi kekurangan tersebut, Indonesia mengimpor susu dari beberapa negara sub tropis seperti Selandia Baru dan Australia.

Rias menuturkan, untuk produksi susu oleh peternak yang tergabung pada koperasinya tahun ini mencapai rata-rata 60 ton liter per hari. Angka ini turun dari tahun lalu yang mencapai rata-rata 72 ton liter per hari. Harga susu dianggap peternak menjadi salah satu kendala, terutama apabila susu hasil produksi peternakan tidak dibeli langsung oleh Industri Pengolahan Susu. Menurut Riah, sebelum bergabung dengan IPS, harga susu segar dihargai Rp4.500 per liter. Ketika sudah bergabung, harga naik 10 sampai 12 persen.

"Harga dari pabrik yang lebih tinggi jelas berpengaruh pada kesejahteraan peternak. Harga pakan yang naik terus setiap tahun akan membuat peternak frustasi," kata Rias.  "Dan peternak yang kepemilikannya di bawah dua ekor tidak pikir panjang dan memilih untuk menjual sapinya menjadi sapi potong demi kelangsungan makan, ini juga yang membuat penurunan angka produksi di tingkat peternak," imbuhnya.

Menurut Rias, bila harga jual susu dan harga pakan membaik maka dapat mendorong para peternak untuk kembali berinvestasi dengan membeli sapi perah dan memproduksi susu segar. Di sisi lain, Kementerian Pertanian berpendapat bahwa produksi susu masih terkendala salah satu penyebabnya adalah proses adaptasi sapi perah di Indonesia.

Ditemui  dalam acara yang sama, Kepala Sub Direktorat Ternak Unggas dan Aneka Ternak Direktorat Ternak Ditjen PKH Kementerian Pertanian Wignyo Sadwoko menyampaikan hal tersebut. "Sapi perah inikan sapi sub tropis, maka produksinya tidak akan pernah optimal. Sapi ini pun tidak bisa di semua tempat di Indonesia dapat dikembangkan," kata Wignyo.

Wagnyo mengungkapkan sapi perah membutuhkan dataran tinggi agar dapat sesuai dengan habitat aslinya yang sub tropis. Selain dataran tinggi, sapi perah juga membutuhkan dukungan lahan seperti kualitas rumput segar yang baik dan selalu tersedia. Pulau Jawa dianggap Wagnyo sudah tidak lagi cocok untuk memperluas area produksi susu sapi. Sehingga instansinya mencoba menumbuhkan peternakan sapi perah di luar Jawa sejak 2007 seperti di Sumatera.

"Kami juga berupaya mendorong dengan cara pelatihan, penguatan fasilitas, modal, bantuan sapi, juga pengkajian peningkatan produktivitas. Cara lainnya adalah bekerjasama dengan swasta, namun ini proses yang sangat panjang dan kami mengharap para peternak yang dilatih dapat melatih peternak yang lain,” ujarnya.

 Bagi kebanyakan produsen susu bubuk instan, memilih ternak sapi perah yang dekat dengan pabrik menjadi pilihan terbaik. Selain dapat mengurangi ongkos pengiriman, kualitas susu yang masih segar lebih dapat terjaga hingga waktu pengolahan.
Sayangnya, hal itu ternyata belum dapat 100 persen dilakukan oleh para produsen susu. Terdapat beberapa kendala yang membuat Indonesia harus mengimpor bahan baku susu.

"Masalahnya 75 persen bahan baku susu secara nasional itu diimpor," kata Deborah R Tjandrakusuma, Legal and Corporate Affairs Director Nestle Indonesia, ketika berbincang dengan CNNIndonesia.com di Karawang, Jawa Barat, Selasa (5/4). Menurut laporan 2015 Ketua Dewan Persusuan Nasional Teguh Boedianto, peternak sapi perah Indonesia disebut hanya sanggup memenuhi 17 persen dari kebutuhan nasional.

Di tempat lain, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, konsumsi susu tertinggi masyarakat Indonesia per kapita pada 2014 adalah produk susu kental manis sebesar 7,74 liter per kapita. Kemudian susu cair pabrik atau preserved milk sebesar 6,4 liter per kapita. Sedangkan susu bubuk hanya dikonsumsi sebesar 3,65 kilogram per kapita sepanjang 2014.

Pada saat yang sama, jumlah sapi perah di Indonesia pada 2014 silam tercatat sebanyak 502.516 ekor yang menghasilkan 800,8 ribu ton susu. Sedangkan di tahun sebelumnya, menurut data dari Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, pada 2013 Indonesia harus mengimpor susu sebanyak 221,247 ton atau senilai US$ 1,3 milyar.

Dengan begitu, artinya jika produsen susu dalam negeri ingin membuat susu bubuk guna memenuhi kebutuhan masyarakat, mereka masih harus 'menambal' dengan impor susu dari luar negeri. Karena produksi susu Indonesia masih belum cukup. Deborah menceritakan sebagian besar susu yang diimpor berasal dari perdagangan bebas. Ia menyadari bahwa produktivitas susu Indonesia masih kalah jauh dibandingkan negara lain. Salah satu faktornya adalah iklim yang tak terlalu cocok bila dibandingkan negara penghasil susu yang memiliki empat musim.

"Banyak kendala juga kenapa pada kakao dan kopi kami bisa membantu meningkatkan produktivitas, tapi di susu terkendala. Kadangkala, ketika harga daging sapi naik, sapi di peternak bisa dipotong. Itu salah satu saja, masih banyak faktor yang lain," kata Head of Corporate Communication Nestle Indonesia, Nur Shilla Christianto.

"Maka dari itulah kami terus melakukan pendampingan agar para petani dan peternak dapat menghasilkan pertanian yang profitable, bukan lagi survival agriculture." katanya.  Nestle Indonesia sendiri mengklaim telah menyerap sebanyak 550 ribu liter susu setiap harinya. Angka tersebut berasal dari 27 ribu peternak sapi perah binaan Nestle di Jawa Timur.

Produsen berbagai merek olahan susu itu menyatakan telah melakukan berbagai upaya pelatihan, pendampingan, dan bantuan kepada para perernak sapi perah untuk meningkatkan produktivitas susu sapi mereka sejak 1985.

No comments:

Post a Comment