Tuesday, April 19, 2016

Pengusaha Mal Nilai E-Commerce Mulai Ancam Bisnis Mall

Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) meminta para pengusaha pusat perbelanjaan giat berinovasi dan berbenah. Hal ini diperlukan demi mengantisipasi pesatnya perkembangan perdagangan secara elektronik atau yang lebih dikenal dengan istilah e-commerce.

“Yang harus kita lakukan adalah mengantisipasi e-commerce. Keberadaan e-commerce tidak bisa ditolak,” tutur Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) APPBI Handaka Santosa di sela Seminar dan Musyawarah Nasional APPBI di Hotel Mulia, Jakarta, Selasa (19/1).

Handaka mengatakan, adanya himbauan untuk melakukan pembenahan dan inovasi lantaran pengelola pusat perbelanjaan belum melihat e-commerce sebagai ancaman. Sebab, sampai saat ini transaksi belanja melalui e-commerce masih di bawah satu persen dari seluruh transaksi ritel.

“Berbeda dengan di China di sana sudah sekitar 10 persen (transaksi e-commerce),” ujarnya. Meski demikian, kata Handaka pengelola pusat belanja domestik sendiri telah menyadari bahwa pusat belanja harus mampu memberikan pelayanan, kenyamanan dan hiburan bagi pengunjung secara prima.

Satu diantaranya dengan menyediakan tempat perawatan kecantikan, fitness, bioskop, dan taman bermain anak. “Jadi kenyamanan dan service yang harus kita tingkatkan,” ujarnya. Ditemui secara terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Srie Agustina menilai bahwa keberadaan e-commerce bukan menjadi pesaing bagi pusat belanja retail “offline” melainkan sebagai diversifikasi pola perdagangan.

“Di tengah lesunya, konsumsi dan transaksi retail di mal-mal (e-commerce) bisa dilakukan,” ujarnya.  Berdasarkan laporan dari pelaku usaha retail yang memasarkan produknya secara online, Srie menyebut konstribusi e-commerce transaksi perdagangan memiliki titik jenuh yang berkisar 10 – 15 persen.

“Kontribusi perdagangan secara offine tetap lebih besar. Jadi melihat itu, menurut saya, perdagangan offline jangan takutlah,” ujarnya. Perusahaan yang menyediakan layanan teknologi finansial canggih diprediksi akan meraih kejayaan di Indonesia seiring dengan meningkatnya transaksi perdagangan elektronik atau e-commerce.

Transaksi dari e-commerce Indonesia saat ini baru menyumbang dua persen terhadap total penjualan ritel di Indonesia. Namun di negara maju, e-commerce telah menyumbang sekitar 10 sampai 20 persen dari total penjualan ritel.

Menurut VP Business Development Ideosource, Andrias Ekoyuono, tren e-commerce ini dapat dimanfaatkan perusahaan fintech (financial technology) untuk memberi solusi pembayaran. "Misalnya transfer uang dengan perangkat mobile yang lebih mudah," kata Andrias dalam bincang-bincang Lunch at Newsroom dengan tema Merintis Bisnis Digital, Selasa (12/1).

Andrias berkata fintech merupakan salah satu bisnis benilai besar dan dibutuhkan dalam ekosistem yang serba digital di masa depan.  Perusahaan yang memberi jasa finansial dapat melanjutkan investasinya di bidang teknologi untuk menjadi perusahaan fintech andal dan mereka bakal kecipratan untung dari transaksi e-commerce yang nilainya mencapai US$ 12 miliar pada 2014 dan akan tumbuh menjadi US$ 135 miliar pada 2020, menurut prediksi Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.

Indonesia masih mengalami masalah besar di mana jumlah masyarakat yang memiliki rekening bank masih sangat kecil. Menurut data Asosiasi Kartu Kredit Indonesia, jumlah kartu debit yang beredar sekitar 75 juta, sementara jumlah kartu kredit yang beredar diprediksi hanya sekitar 16 juta.

Kesempatan ini bisa dieksplorasi oleh perusahaan bank dan telekomunikasi yang berbondong menawarkan uang elektronik berbasis kartu cip atau teknologi Near Field Communication (NFC). Sementara perusahaan telekomunikasi, mulai mendukung sistem potong pulsa atau carrier billing untuk membeli konten-konten digital di toko aplikasi dan multimedia.

Di Indonesia juga telah bermunculan perusahaan rintisan digital penyedia solusi pembayaran yang telah diintegrasikan dengan layanan perbankan. Sebut saja Veritrans, iPaymu, Kartuku, dan Doku, sebagai pemain lokal yang melakukan otorisasi pembayaran kartu kredit, kartu debit, Internet banking, dan transaksi online lain, dalam platform e-commerce.

Dalam laporan berita CNBC pada 10 Januari 2016, saat ini investor di Amerika Utara mulai melirik perusahaan fintech untuk mengucurkan dana miliaran dollar ke sektor ini. Perusahaan bank di Amerika Utara sendiri membelanjakan teknologi baru untuk memperbarui sistem dengan perkirakan US$ 19,9 miliar pada 2017, menurut data The Statistics Portal.

"Pelanggan sekarang ingin berinteraksi dengan bank mereka kapan pun mereka inginkan, apa yang mereka inginkan, di manapun mereka inginkan, dan dapat berpindah sangat mulus di antara saluran," tulis studi prediksi perbankan global dari perusahaan Ernst & Young.

No comments:

Post a Comment