Thursday, April 28, 2016

Defisit Anggaran Bengkak Jadi 2,5% PDB, Pemerintah Kurang Dana Hingga Rp 46 Triliun

Pemerintah akan mencari tambahan pembiayaan sebesar Rp46 triliun pada tahun ini guna menambal defisit anggaran yang berpotensi melebar menjadi 2,5 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).  Suahasil Nazara, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengatakan pemerintah akan mengusulkan pelebaran defisit fiskal dalam revisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016. Apabila saat ini target defisit APBN ditetapkan sebesar Rp273,2 triliun atau 2,15 persen PDB, maka dalam Rancangan APBN Perubahan diusulkan naik menjadi 315,3 triliun atau 2,5 persen PDB.

"Penambahan defisit itu berarti ada tambahan pembiayaan (sekitar) Rp46 triliun," kata Suahasil dalam acara peluncuran Buku Laporan Perekonomian Indonesia (LPI) 2015 di kantor Bank Indonesia (BI), Jakarta, Kamis (27/4). Dia menerangkan tambahan pembiayaan tersebut rencananya akan dipenuhi dari saldo anggaran lebih (SAL) sebesar Rp19 triliun. Sementara sisanya sekitar Rp27 triliun akan dipenuhi dari penambahan utang negara.

Menurut Suahasil, melesetnya target penerimaan pajak pada tahun tahun lalu menjadi dasar pertimbangan pemerintah untuk mengusulkan pelebaran defisit pada tahun ini. Selain itu, lanjutnya, harga minyak mentah yang lebih rendah dibandingkan dengan yang diasumsikan pemerintah juga menambah risiko fiskal.  "Harus ada terobosan dalam pajak. Apa itu? Ya pengampunan pajak (tax amnesty)," ujarnya.

Selain diharapkan bisa menambah penerimaan pajak, Suahasil mengatakan tax amnesty juga bisa menjadi insentif bagi wajib pajak yang merepatriasi asetnya dari luar negeri ke Indonesia.  Dalam RUU Pengampunan Pajak, WP yang hanya melaporkan kekayaannya ke DJP diwajibkan membayar uang tebusan dengan tarif berjenjang tergantung periode pengajuan permohonan tax amnesty, yakni mulai dari 2 persen, 4 persen, hingga 6 persen. Sementara untuk WP yang melaporkan sekaligus merepatriasi asetnya dikenakan tarif uang tebusan yang lebih rendah, yakni mulai dari 1 persen, 2 persen, atau 3 persen.Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berpotensi membengkak menjadi 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun depan seiring dengan meningkatnya kebutuhan belanja prioritas. 

Guna meredam risiko pelebaran defisit fiskal, Kementerian Keuangan mendorong moratorium pembangunan kantor pemerintahan baru pada tahun depan.  "Ini masih perencanaan awal untuk penganggaran 2017. Defisit anggaran (kemungkinan) 2,3-2,6 persen terhadap PDB," ujar Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo pada acara Musyawarah Perencanaan pembangunan (Musrenbang) di Jakarta, Rabu (20/4).

Untuk mendukung percepatan pembangunan, Mardiasmo mengatakan pemerintah akan memperluas basis pajak pada tahun depan dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak melalui penegakan hukum ( law enforcement). Selain itu, lanjutnya, pemerintah juga akan mengoptimalkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), terutama yang bersumber dari sumber daya alam (SDA) non minyak dan gas.

Pada kesmepatan itu, Mardiasmo mengingatkan seluruh kementerian dan lembaga (K/L) serta pemerintah daerah untuk menyinergikan postur APBD dengan APBN. Fokus penganggaran tahun depan lebih diarahkan untuk mendukung pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan.

"Belanja barang ada yang mengika‎t dan ada yang mendukung. Selama bisa dipertanggungjawabkan tidak apa-apa (dipakai), tapi kalau hanya untuk dihabiskan mungkin bisa dikurangi," tuturnya. "Termasuk belanja modal yang non infrastuktur, misalnya dengan melakukan moratorium pembangunan gedung kantor. Sudah saatnya dikurangi, arahkan ke belanja modal untuk masyarakat luas," lanjut Mardiasmo.

Terkait transfer anggaran ke daerah, Mardiasmo menekankan pentingnya singkronisasi penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) secara terpadu antara pemerintah provinsi dan pemerintah kota.  "Bisa tidak gubernur memadukan DAK di kabupaten/kota agar sinkron‎? Supaya nyambung. Gubernur adalah kordinator di kabupaten/kota masing-masing," tuturnya.

Mantan Ketua BPKP itu mengingatkan kembali arahan presiden soal percepatan pembangunan infrastruktur. Intinya, belanja-belanja yang prioritas harus didorong, sedangkan yang sifatnya bukan untuk mendanai infrastruktur harap dikurangi.  "Salah satu reformasi yang juga ditekankan (presiden) adalah reformasi anggaran, kalau perlu revolusi anggaran," jelasnya.

Untuk itu, lanjutnya, paradigma yang keliru soal pemerataan anggaran harus diubah berdasarkan skala prioritas. Karenanya, tidah harus selalu anggaran diterima sama oleh setiap kuasa pengguna anggaran.  "Harus ada fokus prioritasnya apa. Setiap provinsi punya ciri khas, fokus, prioritas, dan berorientasi pada kepentingan publik. Sehingga betul-betul money follows program dan priorities," katanya.

No comments:

Post a Comment