Bank Indonesia (BI) menilai konsumsi dan investasi pemerintah akan menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi domestik pada kuartal I 2016. Otoritas moneter meyakini akselerasi ekonomi akan berlanjut pada triwulan berikutnya seiring dengan meningkatnya stimulus fiskal.
Tirta Segara, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, menjelaskan belanja barang dan belanja modal pemerintah meningkat signifikan, seiring dengan percepatan proyek-proyek infrastruktur pada triwulan I 2016. Sejalan dengan perkembangan tersebut, investasi swasta diperkirakan akan mulai meningkat pada triwulan II 2016.
"Konsumsi rumah tangga diperkirakan masih cukup kuat, terindikasi dari penjualan eceran dan kendaraan bermotor yang mulai tumbuh positif serta keyakinan konsumen yang terus membaik," jelasnya melalui keterangan resmi BI, Kamis (21/4). Sementara itu, lanjutnya, kinerja ekspor beberapa komoditas mulai menunjukkan perbaikan, terutama tekstil, alat listrik, dan kendaraan untuk penumpang.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dalam lawatannya ke London, Inggris mengutarakan optimismenya soal ekonomi nasional. Dia meyakini perekonomian Indonesia akan tumbuh stabil di kisaran 5 persen pada kuartal I 2016 dan secara gradual akan meningkat sesuai dengan target pemerintah. "Saya percaya kami termasuk yang stabil di kawasan, dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tahunan sekitar 5 persen," ujar Jokowi, Rabu (20/4).
Secara keseluruhan, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan semakin baik pada triwulan II 2016, ditopang konsumsi dan investasi yang meningkat. Sementara di tingkat global, BI menilai perlambatan ekonomi mendorong berlanjutnya kebijakan pelonggaran moneter di beberapa negara maju. Pertumbuhan ekonomi global diperkirakan lebih rendah dari proyeksi semula, didorong oleh belum kuatnya pemulihan ekonomi di sejumlah negara maju dan perlambatan ekonomi negara berkembang.
"Pemulihan ekonomi Eropa yang masih lemah dan mengalami deflasi, seiring dengan meningkatnya pesimisme konsumen dan investor, mendorong berlanjutnya pelonggaran kebijakan moneter, termasuk melalui penerapan suku bunga negatif," tuturnya. Selain di Eropa, BI melaporkan kebijakan suku bunga negatif juga terus dilakukan oleh Jepang dan beberapa negara maju lainnya sebagai respons atas pertumbuhan ekonomi yang terus melambat.
"Kebijakan pelonggaran moneter di negara maju tersebut berpotensi meningkatkan likuiditas global dan aliran modal masuk ke negara berkembang," jelas Tirta.
BI meyakini bank sentral Amerika Serikat (AS) baru akan meningkat suku bunga Fed Fund Rate (FFR) pada semester II 2016, dengan besaran kenaikan yang lebih rendah. Normalisasi kebijakan moneter AS molor ke paruh kedua mengingat pemulihan ekonomi Negeri Paman Sam masih belum solid, tercermin dari kegiatan manufaktur dan net ekspor yang masih lemah.
Sementara itu, ekonomi Tiongkok mengarah ke kondisi yang lebih stabil dengan risiko pelemahan yang masih tinggi. Di pasar komoditas, harga minyak dunia diperkirakan cenderung menurun, akibat tingginya pasokan di tengah permintaan yang masih lemah. "Namun, harga beberapa komoditas ekspor Indonesia, khususnya CPO, karet, dan timah, mulai membaik," kata Tirta.
No comments:
Post a Comment