Menurut Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir dari Palembang, Jumat (19/11), selama ini keterbukaan alokasi pupuk di tingkat distributor hanya untuk kalangan tertentu.
”Tidak untuk semua masyarakat, akibatnya mudah terjadi penyimpangan. Pengawasan pupuk bersubsidi tidak bisa lagi hanya mengandalkan aparat, harus melibatkan aparat pemerintah ataupun masyarakat, dan NGO (lembaga swadaya masyarakat). Jadi, semua saling mengawasi,” katanya.
Winarno menegaskan, keterbukaan harus dilakukan, mulai dari proses pemilihan distributor, siapa yang terpilih sebagai distributor, di mana saja wilayah penyaluran pupuk bersubsidinya, hingga berapa besar alokasinya.
Selama ini, lanjut Winarno, alokasi pupuk bersubsidi tidak pernah diumumkan kepada masyarakat, begitu pula daftar distributornya.
”Padahal, kalau diumumkan, semua bisa mengawasi,” kata Winarno.
Ia menegaskan, keterbukaan harus dimulai dari produsen pupuk. Alasannya, yang menentukan alokasi dan menetapkan distributor adalah produsen pupuk.
Keterbukaan juga dibutuhkan dalam penyusunan rencana definitif kebutuhan kelompok tani (RDKK). ”Kalau tidak, bisa saja RDKK dipalsukan atau fiktif untuk menggelembungkan kebutuhan pupuk petani,” tuturnya.
Dua bulan lalu, Kepolisian Daerah Jawa Timur membongkar penyimpangan pupuk bersubsidi dengan tersangka Along. Along membeli pupuk bersubsidi dari beberapa daerah dari segala merek. Selanjutnya, pupuk itu dijual ke pabrik lem di Probolinggo, Jawa Timur, dengan harga nonsubsidi. Kejahatan itu berjalan sejak lima tahun lalu (Kompas, 19/11).
Pengamat pertanian Siswono Yudo Husodo, yang juga mantan Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, mengatakan, penyimpangan pupuk bersubsidi terus terjadi. ”Baik yang dilakukan terang-terangan maupun secara halus,” kata Siswono.
Penyimpangan secara terang- terangan, lanjutnya, antara lain dengan menyimpangkan pupuk bersubsidi, dengan label pupuk subsidi, langsung dijual ke pasar, bahkan ke perkebunan sawit di Malaysia.
”Yang agak halus dengan mengganti karung pupuk bersubsidi dengan karung nonsubsidi,” ujar Siswono.
Indikasi penyimpangan, katanya, sebenarnya jelas dapat diketahui. ”Produksi pupuk urea di Indonesia 6 juta ton dan kebutuhan urea bersubsidi hanya 4 juta ton-5 juta ton setahun. Dengan sisa pupuk nonsubsidi 1 juta ton, semestinya ketersediaan pupuk untuk perkebunan tidak melimpah,” katanya.
Siswono berpendapat, ada sekitar 10 persen pupuk bersubsidi yang diselewengkan. Dengan kata lain, ada sekitar Rp 1,4 triliun uang negara yang diselewengkan. Ini karena subsidi pupuk 2010 hampir Rp 14 triliun.
Oleh karena itu, kata Siswono yang juga anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Golkar, Komisi IV akan membentuk pokja pupuk. Tujuannya untuk meningkatkan mekanisme pengawasan pupuk bersubsidi.
No comments:
Post a Comment