Sunday, November 14, 2010

Ketentuan Insentif Perpajakan Real Estate Tidak Jelas

Perbedaan persepsi di antara instansi pemerintah terkait kebijakan perpajakan rumah bersubsidi membingungkan pengembang perumahan.

Akibatnya, pengembang pun kesulitan memasarkan rumah bersubsidi bagi konsumen berpenghasilan menengah ke bawah. Persoalan itu terungkap dalam sesi seminar pada Musyawarah Nasional Real Estat Indonesia ke-13 di Jakarta, Rabu (10/11).

Menurut Deputi Pembiayaan Kementerian Perumahan Rakyat (Kempera) Tito Murbaintoro, subsidi berupa fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) diberikan kepada masyarakat berpenghasilan maksimal Rp 4,5 juta per bulan.

Fasilitas subsidi itu berupa suku bunga tetap (fixed rate) berkisar 8,15-9,95 persen selama tenor pinjaman 15 tahun. Selain itu, insentif berupa pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk konsumen dan pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) final dari 5 persen menjadi 1 persen untuk pengembang.

Sasaran FLPP adalah masyarakat berpenghasilan pokok maksimum Rp 2,5 juta per bulan untuk kepemilikan rumah sejahtera tapak serta berpenghasilan maksimum Rp 4,5 juta per unit untuk rumah sejahtera susun.

Adapun besar kredit pemilikan rumah (KPR) oleh konsumen rumah sejahtera tapak sebesar Rp 50 juta-Rp 80 juta per unit. Adapun KPR untuk rumah sejahtera sejahtera susun subsidi maksimum Rp 135 juta per unit.

Akan tetapi, Direktur Peraturan Pajak I Kementerian Keuangan Suryo Utomo menjelaskan, insentif perpajakan yang berlaku adalah untuk rumah sejahtera tapak maksimum seharga Rp 55 juta per unit dan rumah sejahtera susun maksimum Rp 144 juta per unit.

Kempera memberikan insentif pajak dan subsidi untuk masyarakat berpenghasilan maksimum Rp 4,5 juta per bulan. Sebaliknya, Ditjen Pajak memberikan subsidi dan insentif berdasarkan harga rumah.

Menurut Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Real Estat Indonesia Teguh Satria, perbedaan persepsi antarpemerintah terkait insentif perpajakan rumah subsidi menimbulkan kebingungan pengembang.

Apabila harga rumah sejahtera tapak melampaui ketentuan insentif perpajakan, pengembang dan konsumen harus menanggung biaya PPN dan PPh final.

”Ini menunjukkan kebijakan yang tidak sinkron. Kami yang kena dampaknya. Kami berharap pemerintah melakukan integrasi kebijakan,” ujarnya.

Suryo Utomo mengatakan, perbedaan kebijakan perpajakan perumahan itu membutuhkan sinkronisasi dengan Kempera.

Saat ini, penyaluran FLPP dilakukan Bank Tabungan Negara dan unit syariah BTN serta Bank Negara Indonesia.

Tahun 2010, anggaran untuk FLPP sebesar Rp 2,6 triliun. Pemerintah mengalokasikan anggaran untuk masa transisi pola lama subsidi selisih bunga ke pola baru FLPP sebesar Rp 416 miliar.

No comments:

Post a Comment