Berkumpul, berbagi pengalaman, dan saling menguatkan untuk membangun komunitas yang lebih baik. Spirit membangun komunitas itulah yang diam-diam menjadi pilihan merajut kehidupan. Bukan sekadar menjadi pembicaraan ataupun konsep di perguruan tinggi, tetapi sudah berbentuk perbuatan.
Sore itu di pengujung Oktober 2010, sejumlah wirausaha sosial Indonesia didampingi Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Firmanzah berkumpul di Kompas
Bukan hanya dihadiri pelaku wirausaha sosial, tetapi juga lembaga pendanaan sosial, seperti Dompet Dhuafa dan Badan Amal Zakat Nasional, ataupun lembaga perbankan Bank Nasional Indonesia serta penggerak koperasi. Tak ketinggalan Ashoka Indonesia dan peneliti usaha mikro, kecil, dan menengah dari perguruan tinggi negeri dan swasta, serta perusahaan besar yang mendorong wirausaha sosial dengan basis tanggung jawab sosial korporat (CSR), termasuk fasilitasi yang dilakukan Dana Kemanusiaan Kompas.
Aneka kendala dan tantangan, dari sekadar kekurangan dana hingga teknik meyakinkan masyarakat dengan bahasa tutur sederhana untuk meningkatkan kesejahteraan, menjadi tema besar pembicaraan tersebut.
Direktur Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI) Wahyu Indriyo mengatakan, akses mata pencaharian dan terhadap pengembangan usaha terkendala justru dari aspek status atau legal entity yang jelas. Persoalan sederhana mesti lebih dulu dibereskan.
”Tidak punya KTP dan kartu keluarga sehingga mereka tidak bisa mengakses sumber-sumber pembiayaan ekonomi, seperti kredit. Lebih jauh, mereka juga sulit menyekolahkan anaknya karena tidak mempunyai akta kelahiran,” ujar Wahyu.
Isu lainnya yang dipetakan AKSI adalah masalah pendidikan dan pengembangan inovasi. Penghargaan yang diberikan kepada wirausaha sosial belum dirasakan dampaknya bagi masyarakat luas.
Keberadaan sebagian besar lembaga swadaya masyarakat sebagai penggerak komunitas tak mampu mengembangkan keberlanjutannya. Mereka terjebak pada pemberi dana. Mengandalkan dana dari pihak lain sudah membuat ketergantungan yang sangat pelik di negeri ini.
Wahyu juga menyoroti peranan pemerintah yang menjanjikan dana melalui berbagai program. Tahun 2011, misalnya, ada dana sekitar Rp 23 triliun untuk Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat. Advokasi sangat diperlukan sehingga dana yang disediakan tidak begitu saja menguap, tanpa pemanfaatan yang berkelanjutan.
Pencinta alam Silverius Oscar Unggul, yang kini menjadi wirausahawan sosial, pernah merasa capai dengan kampanye dan advokasi melawan pembalakan liar. Upayanya tak terbendung sehingga Onte, begitu panggilannya, memutuskan menggalang kekuatan masyarakat dengan membentuk community logging.
”Saya kira, masalahnya adalah bagaimana kita memberdayakan masyarakat? Sebagai social entrepreneur, pertanyaan masyarakat lokal adalah, ’Apakah Bapak pebisnis? Apa bedanya Bapak dengan pebisnis lainnya?’” ujar Onte, menirukan pertanyaan spontan masyarakat.
Begitu dijawab, pihaknya menjadi pengusaha sosial yang berkelanjutan dan masyarakat lokal akan mendapatkan keuntungannya dengan tetap mempertahankan kelestarian hutan.
Namun, masyarakat justru menimpali bahwa orang lain juga banyak berbuat hal seperti itu. Orang Malaysia datang ke Kaimana setiap Natal dan menyumbang Rp 16 juta kepada masing-masing kepala keluarga. Lantas, masyarakat pun bertanya, ”Apa bedanya kalian dengan mereka?”
Ternyata setelah kita runut lebih jauh, kata Onte, masyarakat membutuhkan yang namanya hak untuk menjadi tuan di tanah mereka sendiri. Tentu, hak ini bisa diperdebatkan panjang, tetapi sederhananya kira- kira adalah apakah mereka bisa menjadi penentu dari usaha- usaha yang kita buat bersama mereka?
Apakah masyarakat lokal bisa mengambil keputusan penting terhadap usaha-usaha ini atau hanya menjadikan mereka sebagai pemasok saja?
Budi Krisnawan, pendiri Vila Hutan Jati, mengatakan, keberanian mengubah pola pikir dalam menghadapi persoalan alam, seperti serangan hama, menjadi persoalan besar untuk menolong petani.
Mutasi gen hama yang menyerang tanaman petani. Persoalannya sangat sederhana. Wereng, jangkrik, ulet menyerang tanaman tidak pada siang hari. Semua bekerja pada malam hari, tahu-tahu tanaman habis.
”Artinya, kita harus mengubah mindset petani. Kalau mau menyemprot tanaman malam hari mulai subuh. Kita tidak usah menuntut pemerintah. Mungkin enggak petani ke sawah tanpa fasilitas penerangan sama sekali?” ujar Budi.
Mira Kusumarini, Representative Ashoka Indonesia, mengatakan, seorang wirausaha sosial adalah orang yang mempunyai mental pengambil risiko. Mereka mempunyai visi luas.
”Mereka mempunyai vision dan mengambil gerakan ini sebagai pilihan hidup. Tetapi, yang terpenting adalah inovasi sosialnya. Jadi, kita tak ingin melihat permasalahan sosial dipecahkan dengan solusi yang sama,” ujar Mira
Secara proses, menurutnya, perkembangan sosial dan tantangannya selalu berubah. Jadi, pasti ada tuntutan, inovasi baru dalam mengatasi masalah.
Merekalah sesungguhnya mampu membuat masyarakat lokal menjadi local solver dan pemecah masalah. Solusi-solusi itu membuat mereka cukup berdaya mengatasi masalah-masalah sosial. Namun, inovasi dan individu yang kreatif dan entrepreneur yang beretika tidaklah cukup.
”Dibutuhkan lembaga yang bisa membuat inovasi mereka bisa berkesinambungan. Jadi, keterpaduan di antara ketiganya menjadi satu kesatuan tak terpisahkan,” tegas Mira.
Ternyata Indonesia bukan hanya kaya akan alam, tetapi sesungguhnya juga kaya akan penggerak masyarakat lokal untuk menjaga kelestarian lingkungannya. Itulah social entrepreneur Indonesia!
No comments:
Post a Comment