Thursday, November 25, 2010

Berpacu Membenahi Industri Udang Indonesia

Tahun 2010 merupakan masa pembuktian bagi pemerintah dan pelaku usaha untuk membangkitkan industri udang. Serangan penyakit yang mendera usaha budidaya udang sejak tahun 2009 memberi kesadaran bahwa ada yang salah dengan sistem pengelolaan produksi udang.

Serangan penyakit dan penurunan daya dukung lingkungan pada tahun 2009 membuat produksi udang nasional anjlok 30 persen.

Sampai semester I-2010, produksi udang nasional 125.000 ton. Target pemerintah 350.000 ton udang.

Petambak sebenarnya telah berinisiatif memperbaiki cara produksi. Hal ini dilakukan dengan mengurangi kepadatan benih udang yang ditebar, menerapkan biosecurity, dan membuat tandon penyaring air tambak.

Upaya lain, mengembangkan polikultur, yakni membudidayakan lebih dari satu jenis komoditas dalam satu kolam. Misalnya, memelihara udang dan ikan bandeng; udang dan ikan nila; atau udang, rumput laut, dan bandeng. Hal ini untuk menekan risiko penyakit.

Usaha budidaya udang prospeknya relatif baik dan harganya terus meningkat. Menurut Ketua Shrimp Club Indonesia Iwan Sutanto, harga di tingkat petambak untuk udang ukuran 50 ekor di Jawa kini Rp 50.000 per kg. Bulan April harganya masih 40.000 per kg.

Adapun harga udang ukuran 60 ekor kini Rp 47.000 per kg. Pada periode yang sama 2009 hanya Rp 36.000 per kg.

Padahal, modal petambak untuk produksi 12 ton udang ukuran 60 ekor hanya Rp 32.000 per kg. Itu berarti keuntungan yang didapat petambak Rp 15.000 per kg.

”Harga udang sungguh menggembirakan. Inilah saatnya bangkit dan bekerja keras membenahi produksi udang dan mengejar produksi,” tutur Iwan.

Kenaikan harga udang saat ini karena belum pulihnya serangan penyakit udang di sejumlah negara produsen. Selain itu, ini dampak dari tumpahan minyak di Teluk Meksiko. Di sisi lain, ekonomi dunia yang membaik mendorong konsumsi.

China, misalnya, kini menjadi negara pengimpor udang karena konsumsinya meningkat. China, dalam periode Januari-November 2010, telah memproduksi 900.000 ton udang dan mengimpor 300.000 ton.

Menekan produksi

Faktor lain yang ditengarai ikut menaikkan harga udang adalah upaya petambak menekan produksi, yang berarti mengurangi pasokan di pasar. Di Jawa Timur, misalnya, ada petambak yang biasanya menebar benih udang (benur) pada areal tambak tiga hektar kini hanya satu hektar.

Pengurangan produksi ini bagian dari kehati-hatian petambak. Mereka masih khawatir terhadap serangan penyakit, selain strategi untuk meningkatkan keuntungan dan menyiasati mahalnya harga induk dan benih udang unggulan.

Dampak pengurangan produksi, menurut Ketua Umum Komisi Udang Indonesia Shidiq Moeslim, telah memukul industri pengolahan udang. Kapasitas produksi industri pengolahan kini hanya 45 persen dari kapasitas terpasang. ”Jika penurunan produksi udang terus dibiarkan, bukan tidak mungkin kian banyak industri pengolahan udang yang tutup,” ujarnya.

Induk vaname

Pelepasan varietas induk udang vaname Global Gen oleh PT Bibit Unggul di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Lombok Barat, 22 November 2010, boleh jadi mengawali peran swasta lokal untuk mendorong produksi udang nasional.

Induk udang vaname Global Gen toleran terhadap serangan penyakit bintik putih (white spot syndrom virus) serta tahan terhadap taura syndrom virus dan infectious hypodermal and hematopoietic necrosis virus.

Namun, harga induk udang vaname Global Gen hampir sama mahalnya dengan induk impor, yakni 40 dollar AS per ekor. Perusahaan itu juga hanya berniat menjual benur untuk pasar lokal dengan harga Rp 30-Rp 35 per ekor, harga benur impor hanya Rp 27-Rp 30 per ekor.

Pemerintah sebenarnya telah merilis induk dan benur varietas udang vaname Nusantara I pada 2009. Pusat perbanyakan pemuliaan induk dibangun di Situbondo, Jawa Timur, dan Karangasem, Bali.

Saat diluncurkan, induk udang vaname Nusantara I dijual Rp 25.000 per ekor, lebih rendah ketimbang induk impor. Benur dijual Rp 17-Rp 20 per ekor, separuh dari harga benur impor, yaitu Rp 35 per ekor.

Kelemahannya, varietas undang vaname Nusantara I tingkat pertumbuhannya lambat daripada benur impor. Udang vaname Nusantara I rata-rata tumbuh baik sampai ukuran 70 ekor per kg setelah itu mandek.

Akibatnya, petambak besar skala intensif yang menginginkan produksi udang ukuran 40 ekor-60 ekor per kg mulai menanggalkan penggunaan varietas indukan lokal itu. Petambak kembali memilih benur dari indukan impor, tetapi menekan produksi.

Jika saja petambak lebih arif, masih terbuka lebar pasar untuk produksi udang ukuran kecil. Saat ini, konsumsi udang ukuran kecil kian diminati di dalam negeri. Negara-negara tujuan ekspor, seperti AS dan Eropa, pun mulai menyukai konsumsi udang ukuran kecil. Oleh karena itu, produksi udang ukuran kecil harus terus ditingkatkan.

Di sisi lain, dibutuhkan keseriusan pemerintah menangani penyakit udang lewat pengembangan teknologi serta riset agar dihasilkan induk dan benur unggulan dengan harga terjangkau.

Thailand, yang serius membenahi industri udang, kini terbebas dari serangan penyakit.

Tanpa upaya serius, sulit mengejar ambisi pemerintah mencapai produksi udang 699.000 ton pada 2014 serta menggeser posisi Thailand sebagai produsen udang kedua terbesar dunia.

Indonesia kini masih di peringkat keempat produsen udang dunia, di bawah Vietnam. Semoga tidak ada kata terlambat.

No comments:

Post a Comment