Orin Basuki
Yang kini terjadi, kedua negara ini malah yang merajai Selat Malaka, yang melayani tidak kurang dari sepertiga perdagangan dunia.
Sebagai gambaran keterpurukan logistik nasional, ongkos pengapalan kontainer dari Padang (Sumatera Barat) ke Jakarta bisa mencapai 600 dollar AS, sedangkan ongkos yang sama dari Singapura ke Jakarta hanya 185 dollar AS. Biaya angkut kontainer ukuran 40 kaki dari Bali ke Surabaya mencapai 3.000 dollar AS, tetapi ongkos angkut dari Singapura ke Surabaya hanya 300 dollar AS.
Asia Foundation dan Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat pernah menghasilkan studi yang menunjukkan bahwa ongkos operasional truk rata-rata di Indonesia mencapai 0,34 dollar AS per kilometer (km), lebih tinggi dibandingkan Asia, yakni 0,22 dollar AS per km. Adapun khusus untuk jarak tempuh pendek, ongkos operasional truk 1 dollar AS-1,5 dollar AS per km. Namun, di kawasan perkotaan dengan lalu lintas padat, ongkos setiap truk meningkat 4 dollar AS per km.
Mahalnya ongkos angkut di Indonesia juga menyebabkan harga buah asal China, seperti jeruk, jauh lebih murah daripada jeruk asal Pontianak, Kalimantan Barat, yang sebelumnya sangat dikenal. Begitu juga harga satu zak semen di Papua setara 20 kali harga semen di Pulau Jawa, hanya karena ongkos angkut yang mahal.
Tidak heran, posisi Indonesia dalam Indeks Kinerja Logistik (LPI) yang disusun Bank Dunia menunjukkan penurunan prestasi luar biasa. Pada tahun 2007, posisi Indonesia di LPI masih di level 43 dari 150 negara. Namun, tahun 2010 sudah terperosok ke posisi 75 dari 155 negara.
Setidaknya ada enam alasan yang membuat kinerja logistik nasional masih terbelakang. Pertama, masih sering terjadi kelangkaan stok dan fluktuasi harga kebutuhan bahan pokok, terutama pada hari-hari besar nasional dan keagamaan.
Kedua, masih tingginya disparitas harga di daerah perbatasan, terpencil, dan daerah terluas. Ketiga, masih rendahnya tingkat penyediaan infrastruktur, kuantitas ataupun kualitas. Keempat, masih adanya pungutan tidak resmi dan biaya transaksi
Kelima, masih tingginya waktu pelayanan ekspor dan impor serta adanya hambatan operasional pelayanan di pelabuhan. Keenam, masih terbatasnya kapasitas dan jaringan pelayanan penyedia jasa logistik nasional.
Situasi ini yang menyebabkan ongkos logistik di Indonesia bisa 20-30 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Pada tahun 2007, peringkat LPI Indonesia masih di atas Filipina dan dan Vietnam. Namun, tahun 2010, Indonesia ada di belakang lima negara anggota ASEAN, yakni Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Dari semua komponen penilaian layanan logistik, Indonesia sangat terpuruk dalam hal kompetensi dan pelacakan barang (tracking), masing- masing turun dari posisi 50 dan 33 pada tahun 2007 menjadi peringkat ke-92 dan 80 tahun 2010.
Namun, bukan berarti komponen lainnya lebih baik sebab tidak ada satu pun indikator penilaian layanan logistik Indonesia yang lebih baik daripada peringkat ke-50 tahun 2010 ini, baik pada komponen kepabeanan, infrastruktur, pengapalan internasional, biaya logistik domestik, maupun ketepatan waktu.
”Kita butuh revolusi sistem logistik nasional. Tidak bisa tidak. Itu harus segera dilakukan,” demikian Deputi Bidang Koordinasi Perdagangan dan Industri, Kementerian Koordinator Perekonomian, Edy Putra Irawadia saat berbicara dalam Sosialisasi Kedua Cetak Biru Sistem Logistik Nasional (Sislognas) di Surabaya, Jawa Timur, 5 November 2010.
Istilah Sislognas mulai sering muncul sejak awal tahun 2010 karena ini adalah salah satu upaya yang sedang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah logistik nasional. Dapatkah terobosan ini dijadikan sebagai solusi?
Revolusi sebaiknya menjadi sebuah nomenklatur baru yang harus ditanamkan dalam benak seluruh pemangku kepentingan, terutama para pejabat yang terkait langsung dengan sistem logistik itu. Seperti revolusi dalam bidang lainnya, di bidang logistik pun dibutuhkan revolusi konsisten dan berkelanjutan.
Itulah makanya Sislognas yang sedang dikembangkan Kementerian Koordinator Perekonomian butuh sokongan. Ini penting karena beredar kabar bahwa ada banyak ide yang masuk ke pimpinan pemerintahan yang bisa saja menghancurleburkan Sislognas yang sudah matang disusun. Jika itu benar terjadi, keinginan untuk membangun Sislognas secara konkret tidak akan pernah terjadi karena semua ide hanya tertanam hingga sebatas wacana mentah.
Cetak biru Sislognas punya 157 rencana aksi dan 29 strategi. Itu harus diselesaikan dalam lima tahun, mulai tahun 2010 hingga 2014. Tak satu pun yang merupakan pekerjaan ringan.
Sislognas juga dikritik karena tak fokus pada penyelesaian masalah yang ada. Seorang pelaku usaha di bidang logistik Surabaya, Eko Hariadi, menyebutkan keanehan, yakni mahalnya biaya angkut kontainer dari Bali ke Surabaya yang 10 kali lipat lebih mahal daripada biaya angkut kontainer dari Singapura ke Surabaya.
Anehnya, truk pengangkut kontainer malah tak boleh mengangkut peti kemas dari Bali ke Surabaya. Padahal, satu-satunya sarana angkutan peti kemas yang mendapatkan subsidi bahan bakar dari pemerintah dan bisa menekan ongkos angkut hanyalah truk. ”Jadi, tingginya ongkos angkut bukan sekadar karena infrastruktur yang sebenarnya sudah tersedia, tetapi kebijakan yang salah dari pemerintah. Subsidi diberikan secara tidak merata, lalu ada pelarangan angkutan yang tidak sesuai situasinya. Kebijakan seharusnya seimbang dan diperlakukan sama kepada semua pelaku usaha,” tuturnya.
Jika memang dibutuhkan, Indonesia perlu memikirkan kemungkinan dibentuknya Dewan Logistik Nasional yang diharapkan akan menjadi solusi bagi tingginya biaya angkut barang antarpulau di dalam negeri, bahkan mampu menyelesaikan hambatan bantuan korban bencana alam di daerah terisolasi. Sebuah dewan diperlukan agar kebijakan yang diterbitkan setiap kementerian dan lembaga bukan kementerian tidak tumpang tindih satu sama lain sehingga menyebabkan biaya tinggi dalam pengangkutan barang di Indonesia
No comments:
Post a Comment