Saturday, November 20, 2010

Profil Usaha Tanpa Saingan: Sadel Sepeda Kuno

Pria paruh baya berkonsentrasi dan dengan tekun menjahit sadel kulit model kuno yang sedang diperbaikinya di ruang bengkel berdinding bilik bambu seluas tidak lebih dari 12 meter persegi.

Di kakinya terhampar beberapa perkakas, potongan per dan rangka sadel, serta mur dan bautnya, yang sesekali dapat digunakan untuk memperbaiki rangka sadel sepeda kuno yang tak lengkap.

Di ruang bengkel yang sekaligus ruang tamu itu juga terserak beberapa potong kulit sapi olahan setebal setengah sentimeter yang siap dibentuk menjadi sadel. Juga untuk menambal sadel yang robek karena termakan usia.

Di atas bangku-bangku kayu di ruangan itu disusun berjajar beberapa sadel setengah jadi. Sadel-sadel itu menunggu pernak-perniknya diselesaikan satu per satu oleh empunya.

Itulah kegiatan sehari-hari Asrori (48) semenjak dia menekuni pekerjaannya sebagai pembuat dan juga tenaga reparasi sadel sepeda kuno saat usianya masih 16 tahun, sekitar tahun 1978. Sampai namanya pun menjadi cukup populer sebagai pembuat sadel sepeda kuno di tempat tinggalnya di Desa Petanahan, Kecamatan Petanahan, sekitar 30 kilometer arah selatan Gombong, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.

”Pekerjaan saya hanya ini, membuat dan memperbaiki sadel sepeda kuno,” katanya.

Karena kesetiaannya pada pekerjaannya itu, sudah lebih dari 20 tahun Asrori tak lagi mencari pelanggan. Sebaliknya, pelanggannya yang berasal dari kalangan warga desa biasa hingga kolektor sepeda kuno dari Semarang, Yogyakarta, dan Purworejo mencarinya.

Dalam sebulan, dengan mengandalkan tenaganya sendiri, minimal Asrori harus menyelesaikan pesanan pembuatan sadel sepeda kuno sampai 10 buah. Masih ditambah lagi dengan perbaikan sadel sepeda kuno yang rusak minimal 60 buah.

Pembuatan sadel untuk sepeda kuno ini cukup berbeda dibandingkan pembuatan sadel sepeda modern. Kenyamanan dan keempukan sadel sepeda kuno ditentukan oleh cara menempa dan membentuk kulit menjadi sadel dan pemasangannya pada rangka sadel. Tak seperti sadel sepeda modern yang keempukan dan kenyamanannya ditunjang oleh busa yang menjadi bantalan sadel.

Menurut Asrori, keempukan dan kenyamanan sadel sepeda kuno ini ditentukan oleh kemampuan perajin memasang sadel pada rangkanya. Sistem kerjanya menyerupai pembuatan gendang, yakni kulit sapi yang dipasang harus ditarik dengan benar sehingga bisa lentur sekaligus tak mudah mengendur.

”Selama tarikannya kuat dan benar, sadel ini tidak akan meleot. Sadel ini akan tetap pada posisinya dan lentur jika diduduki,” ujar Asrori.

Setiap sadel yang dibuat biasanya diberi label merek sadel kuno yang sudah ada, seperti Gazelle (salah satu merek sadel dari Belanda) dan Brooks (salah satu merek sadel dari Inggris). Namun, untuk pelabelan merek itu, menurut Asrori, diberikan sesuai keinginan pemesan. Sebab, pencetakan merek tersebut di atas sadel hanya untuk memberi kesan kuno.

”Sadel dengan merek-merek itu sudah jarang ditemukan. Makanya, banyak pelanggan yang meminta agar diberikan label merek itu,” katanya.

Harga murah

Untuk satu sadel baru, Asrori mengaku bisa mematok harga antara Rp 150.000 dan Rp 300.000, bergantung pada kondisi ekonomi pelanggannya. ”Kalau orang desa, ya cukup Rp 100.000 atau Rp 150.000. Kalau bukan, ya lebih,” katanya.

Namun, dibandingkan sadel sepeda kuno yang asli dari Belanda dan Inggris, harga sadel yang dipatok Asrori ini jauh lebih murah. Untuk sadel merek Gazelle, misalnya, ada yang dijual antara Rp 800.000 dan Rp 1 juta.

Selain piawai membuat sadel, Asrori juga cukup terampil memperbaiki rangka sadel sepeda kuno. Bahkan, tak sedikit pula pelanggan yang datang kepadanya hanya membawa rangka sadel sepeda kuno dalam kondisi tak lengkap.

”Kalau rangka sadel yang dibawa pelanggan itu tidak lengkap, ya dibuatkan dulu atau dicarikan dulu rangka baru untuk dipasangkan pada rangka yang sudah ada. Baru kemudian dibuatkan sadelnya,” paparnya.

Untuk membuat sebuah sadel, Asrori membutuhkan waktu satu sampai dua hari. Semua pekerjaan dilakukan manual. Tak ada yang menggunakan cetakan ataupun bahan kimia.

Namun, kulit sapi yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan sadel dibeli Asrori di Pasar Kebumen. Kondisi kulit itu sudah disamak dan siap digunakan untuk membuat sadel, sepatu, ataupun tas.

Karena kulit yang dibeli telah disamak, cara membentuknya menjadi sadel pun tak melalui tahapan yang rumit. Kulit tersebut cukup direndam air sebentar agar lebih mudah dibentuk. Dalam kondisi basah, kulit itu diketok dengan mata palu agar terbentuk melengkung untuk pojok sadel.

Namun, untuk membentuk kulit tersebut, tentu dibutuhkan keterampilan seperti yang dimiliki Asrori. Oleh karena itu, tak semua orang bisa membuatnya.

Bahkan, kerajinan membuat sadel sepeda kuno ini pun untuk wilayah sekitar Kebumen sampai Banyumas dan Purworejo hanya ditekuni Asrori. Wajar Asrori tak punya pesaing untuk kerajinan sadel sepeda kuno ini.

Hanya model sadel tertentu, katanya, yang membutuhkan ketelatenan membuatnya. Salah satunya adalah sadel model celeng, yakni sadel tanpa per. ”Untuk membuat sadel celeng ini harus benar-benar teliti karena tak ada pernya. Untuk membuat sadel itu nyaman, kulit sadel harus ditarik dengan benar,” katanya.

Ketekunan Asrori membuat sadel ini sebetulnya berawal dari satu hal unik, yaitu ketertarikannya pada pisau. Saking terobsesinya pada pisau, semasa remaja, dia rela menabung untuk membeli pisau merek German Eyes Knives yang kala itu dijual Rp 2.250. Padahal, pada masa itu, sekitar tahun 1975, uang Rp 10 bisa membeli tiga pisau buatan lokal.

Kini, pisau itu masih dia gunakan untuk memotong kulit. Karena sudah berusia tua dan sudah sering kali diasah, mata pisaunya pun memendek, dari sejengkal tangan menjadi seruas jari telunjuk.

”Biarpun pendek, masih saya pakai pisaunya untuk memotong kulit,” katanya.

Sementara keterampilannya membuat sadel diperoleh Asrori dari ayahnya yang berprofesi sebagai perajin baju kuda dari bahan kulit. ”Dari ayah, saya banyak belajar cara membuat berbagai kerajinan dari kulit, mulai dari baju kuda, sepatu, sampai sadel sepeda,” tutur Asrori.

Hanya sekarang, Asrori mengaku tak memiliki penerus dari keterampilannya membuat sadel. Kedua anaknya lebih memilih bekerja sebagai pegawai kantor dibandingkan meneruskan usahanya membuat sadel. ”Ya tinggal saya sendiri, tidak ada lagi penerus. Memang sayang,” tuturnya.

No comments:

Post a Comment