Monday, November 22, 2010

Mencermati Soal Tukar Guling Bakrie dan Vallar

Cukup menarik perhatian berkenaan dengan transaksi senilai 3 miliar dollar AS yang melibatkan dua produsen batu bara utama di Indonesia, yaitu Bumi Resources dan Berau Coal. Sebuah aksi korporasi yang memastikan akan semakin banyak batu bara yang akan diekspor.

Industri batu bara Indonesia meningkat pesat dalam lima tahun terakhir. Produksi batu bara yang pada tahun 2004 hanya 131 juta ton meningkat 74 persen menjadi 228 juta ton pada tahun 2008.

Kenaikan produksi itu terutama dipicu peningkatan permintaan dalam jumlah besar dari China. China menerapkan kebijakan melarang ekspor batu bara untuk menahan laju eksploitasi tambang batu bara di dalam negeri.

Sebagai gantinya, mereka mengimpor batu bara dalam jumlah besar dari Indonesia dan Australia. Batu bara Indonesia menjadi lebih kompetitif dibandingkan dengan batu bara dari Australia karena jarak yang lebih dekat membuat ongkos kirim batu bara ke China lebih murah.

Produksi batu bara Indonesia tahun ini diproyeksikan mencapai 254 juta ton. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, pada tahun 2009 ekspor batu bara sebanyak 234,1 juta ton, dengan nilai devisa 13,8 miliar dollar AS.

Sementara itu, berdasarkan perkiraan Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia, jika mengikutsertakan pertambangan ilegal yang tidak tercatat pemerintah, realisasi produksi mencapai 300 juta ton.

Dengan harga batu bara tahun lalu rata-rata 70 dollar AS, di atas kertas, seharusnya nilai devisa dari batu bara mencapai 17,5 miliar dollar AS. Dari potensi itu, jumlah penerimaan negara melalui pajak dan pendapatan bukan pajak (royalti) mencapai 60 persennya atau sekitar 10,5 miliar dollar AS.

Namun, kenyataannya penerimaan negara dari sektor pertambangan tahun lalu hanya Rp 51 triliun, jauh dari potensi penerimaan yang seharusnya diperoleh. Direktorat Jenderal Pajak dan Badan Pemeriksa Keuangan mengendus adanya indikasi praktik penghindaraan pajak penjualan oleh perusahaan batu bara melalui transfer pricing.

Modus ini dilakukan dengan membentuk anak perusahaan di luar negeri, kemudian dilakukan ekspor pada tingkat harga tertentu sehingga pendapatannya lebih rendah dan pajak yang harus dibayarkan lebih murah.

Dalam kaitan dengan transaksi Bakrie & Brothers dengan Vallar, Bakrie menukar 25 persen kepemilikan saham di Bumi Resources dengan 50 juta saham Vallar. Vallar sebelumnya menguasai Bumi. Melalui transaksi ini, Bakrie menjadi pengendali saham di Vallar Plc yang akan segera berganti nama menjadi Bumi Plc. Indra Bakrie akan duduk sebagai komisaris di Bumi Plc, sedangkan Presdir Bumi Resources Ari Hudaya akan menjadi Chief Executive Officer. Melalui tukar guling saham ini pula, Bumi akan terdaftar di bursa London, Inggris, melalui Bumi Plc.

Pengamat pasar modal Yanuar Rizky mengatakan, terdaftarnya Bumi di bursa London bisa menjadi jalan bagi perusahaan untuk terhindar dari aturan pajak di Indonesia. ”Mereka bisa saja mengelak dari ketentuan pajak di dalam negeri karena sudah menjadi multinatinational company,” ujarnya.

Menurut Yanuar, dengan posisi sebagai holding company, Bumi semakin leluasa melakukan transfer pricing. ”Kalau dulu hanya dilakukan dengan kendaraan perusahaan lain, sekarang antara anak dan induk perusahaan,” kata Yanuar.

Dileep Srivastava, Senior Vice President Investor Relation Bumi Resources, yang dihubungi mengatakan, indikasi transfer pricing ataupun penghindaran pajak sama sekali tidak benar. ”Bumi tidak pernah melakukan transfer pricing sama sekali,” ujarnya.

Vallar Plc baru saja membeli 75 persen saham Berau Coal. Artinya, secara tidak langsung, Berau menjadi cucu perusahaan Bakrie & Brothers melalui Bumi Plc. Dengan menguasai Berau, Bumi akan menguasai 30 persen produksi batu bara nasional.

Menarik untuk dicermati bahwa setelah pengambilalihan Berau oleh Vallar, belum ada kejelasan siapa yang memegang hak pemasaran batu bara Berau. Berau Coal yang merupakan produsen batu bara kelima terbesar, tahun ini menargetkan produksi 17,9 juta ton, dengan porsi ekspor sebanyak 70 persen ke China, Jepang, dan Malaysia.

Sementara itu, Bumi Resources saat ini menjadi produsen batu bara terbesar di Indonesia melalui dua anak perusahaannya, PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia. Produksi batu bara KPC dan Arutmin tahun ini diperkirakan mencapai 64 juta ton, sekitar 60 persennya diekspor dengan negara tujuan utama adalah China, India, dan beberapa negara Eropa.

Nathaniel Rotschild, pemilik Vallar Plc, menyatakan, pihaknya menargetkan produksi Bumi dan Berau bakal mencapai 140 juta ton pada tahun 2013. Dengan demikian, Bumi akan meneguhkan posisinya sebagai pengekspor batu bara terbesar ke China untuk pembangkit listrik.

Bumi Resources besar melalui tangan pemerintah. Bumi membeli KPC dari Rio Tinto melalui proses divestasi. Sesuai aturan kontrak karya, perusahaan pertambangan asing diwajibkan mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada negara ketika masa operasinya memasuki tahun ke-20.

Kesempatan pertama divestasi saham perusahaan tambang diberikan kepada pemerintah. Dalam kasus divestasi saham Rio Tinto, pemerintah tidak mempergunakan haknya. Hak membeli saham dialihkan ke perusahaan nasional, dalam hal ini Bumi Resources.

Karena terhitung menjual ke entitas nasional, Bumi mendapat KPC dengan harga yang relatif murah, sekitar 500 juta dollar AS atau sekitar Rp 4,5 triliun. Dengan perkembangan industri batu bara yang sedemikian cepat, hanya dalam waktu 10 tahun kapitalisasi pasar (market capitalization) Bumi Resources sudah mencapai 6 miliar dollar AS atau sekitar Rp 54 triliun.

Direktur Masyarakat Batu Bara Indonesia Singgih Widagdo mengatakan, kasus Bumi hendaknya menjadi pelajaran tentang pentingnya penguasaan sumber daya alam oleh negara.

Andai saja penguasaan batu bara ada di bawah badan usaha milik negara, negara bisa memperoleh manfaat paling optimal dari perkembangan industri batu bara yang sedemikian pesat.

”Kita tidak perlu khawatir kekurangan batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik dan industri di dalam negeri,” kata Singgih.

No comments:

Post a Comment