Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi membantah rencana penaikan target penerimaan cukai dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016 akan memberatkan industri hasil tembakau dalam negeri. Pemerintah mengusulkan target penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) naik sebesar 23 persen menjadi Rp 148,85 triliun. Angka tersebut setara dengan 95,72 persen dari total target penerimaan cukai tahun depan yang dipatok sebesar Rp 155,5 triliun.
Kebijakan tersebut mengakibatkan beban cukai yang harus ditanggung oleh produsen rokok menjadi semakin berat dan perusahaan terancam memangkas jumlah pegawai akibat beban biaya operasional yang membengkak. Namun Heru membantah pemangkasan karyawan di industri rokok bukan semata-mata disebabkan oleh faktor kenaikan tarif cukai.
"Pemangkasan karyawan, kalau kenaikan tarif proporsional, tentu tidak ada pengaruhnyaa. Ada faktor lain sebagai penyebabnya, ada perlambatan ekonomi. Tidak usah bicara kenaikan tarif saja sudah ada faktor itu," ujar Heru di Jakarta, Kamis (3/9). Tak hanya itu, ia mengatakan kenaikan tarif bukanlah satu-satunya instrumen untuk mengejar kenaikan target tahun depan.
"Kenaikan yang nominal dari Rp 138,9 triliun jadi Rp 155 triliun target cukai, nominal kenaikan bukan dikonversi satu-satunya hanya lewat tarif," ujarnya. Ia juga membantah bahwa kenaikan target kenaikan tersebut tidak didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak asosiasi perusahaan rokok. Ia mengaku ia telah memanggil pihak asosiasi untuk mencari alternatif lain dalam memenuhi target kenaikan penerimaan cukai.
"Kita harus menghitung, kenaikan nominal tidak hanya ke tarif, ada optimaliaasi hasil pendanaan, 23 persen itu juga hitungan teman-teman (asosiasi)," ujarnya. Kenaikan cukai produk hasil tembakau, seperti rokok, dinilai terlalu dipaksakan untuk mengejar target. Sementara industri rokok sudah merasakan tekanan besar. Sebanyak 81,6 persen pemain di industri itu sudah gulung tikar.
Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun mengatakan pemerintah harus realistis melihat kondisi industri tembakau. “Kami tidak berkeyakinan target akan tercapai, namun kami akan bilang targetnya harus realistis. Kami yakin publik bisa memahami kondisi ini. Jadi yang realistis saja dan jangan muluk-muluk,” ujarnya, di Jakarta, Kamis (3/9)
Menurut Misbakhun, dibandingkan komoditas lain yang dikenakan cukai, produk hasil tembakau adalah sumber utama cukai dengan porsi sebesar 96 persen serta satu-satunya produk yang dihantam kenaikan cukai signifikan. Target cukai tembakau tahun 2016 mencapai Rp 148,9 triliun, seperti tercantum dalam nota keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2016.
Dia menilai instrumen yang lazim dipakai pemerintah untuk memenuhi target cukai tembakau adalah kenaikan tarif cukai tembakau. Pemerintah jangan hanya memikirkan intensifikasi cukai dengan cara menaikkan cukai rokok tiap tahun tanpa melihat dampaknya. Soalnya, kenaikan cukai yang terlampau tinggi akan mengakibatkan turunnya daya beli yang berlanjut pada penurunan produksi, kemudian pemutusan hubungan kerja (PHK) dan juga penyerapan bahan baku rokok, yakni petani tembakau.
“Akibat buruk lain adalah meningkatnya produk rokok illegal,” ujar anggota Baleg ini. Politikus Golkar ini mendesak pemerintah melakukan ekstensifikasi obyek cukai baru, seperti minuman berpemanis, dan fuel surcharge. “Obyek ini sebagai potensi barang kena cukai karena berdampak pada kesehatan. Jangan hanya naikkan cukai rokok tiap tahun. Apakah pemerintah berani mencari obyek cukai baru?” katanya.
Sementara itu Sekjen Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Hasan Aoni Aziz US mengatakan, pada tahun ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 20/PMK.04/2015 perubahan PMK No. 69/PMK.04/2009 yang mengamanatkan industri rokok harus membayar cukai di tahun berjalan.
Akibatnya, penerimaan negara dari cukai rokok tahun ini yang ditarget Rp 139,1 triliun didapatkan dari 14 bulan pembayaran cukai. Menurutnya, 14 bulan penerimaan karena cukai November-Desember 2014 sesuai dengan peraturan terdahulu dibayar 60 hari setelah pembelian pita cukai atau jatuh pada Januari-Februari 2015. Dengan demikian, secara riil target penerimaan cukai dalam 12 bulan tahun ini adalah Rp 120 triliun.
“Oleh karena itu, penaikan target cukai rokok tahun depan yang ditetapkan menjadi Rp 148,9 triliun mengalami penaikan 23,5 persen bukan 7 persen seperti yang diungkapkan pemerintah,” ujarnya. Ia menuturkan, secara historis, setelah kebijakan cukai rokok tinggi diterapkan dalam lima tahun terakhir. Akibatnya 81,6 persen industri rokok yang tergabung dalam Gappri baik golongan kecil, menengah, dan besar telah gulung tikar.
“Sepanjang 2009 hingga 2014, dari semula unit produksi berjumlah 3.255 unit, kini hanya menyisakan 600 unit. Dalam hal ini, terjadi peningkatan kapasitas produksi oleh industri rokok besar, karena pasar yang ditinggalkan oleh produsen kecil mulai beralih,” ujarnya.
Pemerintah berencana menaikkan tarif cukai rokok pada tahun depan di tengah kondisi ekonomi yang sedang mengalami perlambatan. Kebijakan ini dipertimbangkan guna mencapai target penerimaan cukai hasil tembakau yang dipatok sebesar Rp 148,9 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBN) 2016, naik 7 persen dari target tahun ini Rp 139,1 triliun.
Kenaikan tarif cukai ini diyakini bakal memberatkan industri rokok karena formula perhitungannya mengacu pada basis inflasi 14 bulan, bukan 12 bulan. Dengan perhitungan ini, maka kenaikan cukai rokok akan mencapai 23 persen, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang hanya berkisar di antara 7-9 persen. Berdasarkan catatan, dari 2010 sampai 2014, sudah ada 999 pabrikan rokok yang gulung tikar akibat naiknya tarif cukai rokok. Hal ini berdampak pada meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri rokok.
Dengan menetapkan kebijakan yang sama pada tahun depan, pemerintah harus bersiap menanggung bertambahnya jumlah pengangguran di Indonesia yang bekerja di sektor tersebut. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyebutkan, lebih dari 90 persen pekerja di pabrikan rokok adalah pekerja perempuan dengan pendidikan rata-rata Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang penghidupan keluarganya sangat tergantung pada kelangsungan pekerjaan mereka. Sementara beban cukai yang ditanggung oleh industri pastinya akan berimbas kepada penurunan produksi.
“Oleh karena itu, kenaikan cukai rokok bukan hanya mengancam pekerja di industri. Tetapi juga membunuh mata pencahariaan petani tembakau dan cengkeh akibat permintaan yang menurun,” ujar Enny, Selasa (1/9). Ia menegaskan dampak dari keputusan untuk menaikkan cukai rokok harus diantisipasi oleh pemerintah. Kesulitan yang dialami oleh industri pasti juga dirasakan oleh para pekerja. Sebab pada 2014 saja ketika pemerintah tidak menaikkan cukai rokok karena bertepatan dengan pemberlakuan pengenaan pajak rokok daerah 10 persen, tercatat ada 10 ribu tenaga kerja industri rokok yang terkena PHK. Sementara tahun ini industri rokok diperkirakan juga akan memberhentikan 10 ribu pekerjanya.
Menurut Sekretaris Jenderal Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Hasan Aoni Aziz, perubahan tren konsumsi sigaret kretek tangan (SKT) menjadi sigaret kretek mesin (SKM) merupakan salah satu faktor. “Adanya penurunan untuk konsumsi sigaret kretek tangan dan diikuti kenaikan yang hampir sama besarnya di sigaret kretek mesin. Ini berpengaruh dengan tenaga kerja, karena SKT itu banyak menyerap tenaga kerja,” ujar Hasan.
Oleh karena itu ia meminta pemerintah harus memerhatikan aspek ekonomi-sosial dalam mengambil kebijakan kenaikan cukai rokok kali ini. Seyogyanya pemerintah berpihak pada perlindungan tenaga kerja dan industri yang menyerap banyak tenaga kerja. Hal ini sejalan dengan keinginan pemerintah untuk menekan angka pengangguran
No comments:
Post a Comment