Thursday, September 3, 2015

Prasyarat Untuk Keluar Sebagai Negara Pemenang Dalam Currency War

Mayoritas mata uang dunia terhempas. Real Brazil, misalnya, sudah anjlok 28 persen versus dollar AS di sepanjang tahun ini. Sementara, lira Turki merosot 20 persen, peso Kolombia melorot 23 persen, dan rupiah Indonesia melemah 11 persen pada periode yang sama. Bertepatan dengan kondisi tersebut, ada strategi ekstrem yang dipilih sejumlah negara dalam kebijakan mata uang mereka. Yakni, dengan memangkas nilai tukar mereka atau yang lazim dikenal dengan devaluasi mata uang.

China, contohnya. Pemerintah Negeri Panda ini mendevaluasi yuansebesar 2 persen pada bulan lalu yang merupakan langkah terbesar dalam dua dekade terakhir. Sejumlah analis meyakini, motivasi utama dari kebijakan ini adalah untuk membuat ekspor China semakin menarik di mata pembeli internasional. Memang, mata uang yang lemah dapat mengerek ekspor, hingga pada akhirnya mendongkrak perekonomian.

"Saya tidak akan terkejut jika kita mengatakan pelemahan mata uang saat ini merupakan langkah untuk memperbaiki performa perekonomian dalam beberapa tahun ke depan," jelas Neil Shearing, chief emerging markets economist Capital Economics. Meski demikian, dalam jangka pendek, pelemahan mata uang juga merefleksikan lemahnya fundamental sebuah negara.

Bahkan faktanya, pelemahan mata uang global yang dramatis menjadi momok krisis finansial Asia pada 1997 silam. Pada saat itu, krisis dipicu oleh devaluasi baht Thailand yang keok hingga 20 persen dalam kurun waktu sehari. Krisis tersebut menjalar ke pasar global dan mengguncang pasar saham dan tingkat kepercayaan investor di kawasan regional selama satu dekade.

Apa yang melatarbelakangi pelemahan mata uang?
Pelemahan mata uang yang terjadi belakangan ini terkait dengan anjloknya harga komoditas. Sejumlah negara, seperti Brazil, sangat mengandalkan komoditas ekspor seperti bijih besi, tembaga, kedelai, dan minyak. Hampir seluruh komoditas tersebut sudah melorot ke level terendahnya dalam enam tahun terakhir pada tahun ini. Penyebabnya tak lain berasal dari melorotnya tingkat permintaan komoditas global, terutama dari China.

Perlambatan ekonomi China yang memicu tingkat permintaan komoditas dari negara ini semakin ini. Berawal dari kondisi itu, nilai mata uang pun melemah bersamaan dengan harga komoditas. Sentimen lain yang memperburuk kondisi ini adalah adanya potensi kenaikan suku bunga acuan oleh the Federal Reserve. Selain itu, investor global juga menarik dananya dari aset-aset berisiko.

Sebenarnya, jika diatur dengan hati-hati, negara-negara yang mengalami pelemahan mata uang terbesar bisa mendapatkan keuntungan pada akhirnya. Sebab, ada dua cara di mana pelemahan mata uang dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
  1. Pertama, mata uang yang melemah menyebabkan ekspor semakin murah dan menarik bagi pembeli internasional.
  2. Kedua, pelemahan mata uang membuat barang impor menjadi mahal dan tidak lagi menarik di pasar domestik. Hal ini bisa menyebabkan mereka memilih untuk menggunakan produk-produk dalam negeri. 
Kedua hal tersebut dapat meningkatkan perdagangan, mengerek permintaan barang domestik, dan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. "Negara-negara yang mengalami pelemahan mata uang harus melihat keuntungan yang akan mereka dapatkan dalam perdagangan global," jelas Andrew Karolyi, Cornell professor and emerging market expert.

Karolyi lantas menyontohkan Brazil, di mana baru-baru ini ekonomi Brazil jatuh ke jurang resesi. Mata uang mereka, real, sudah keok 27 persen pada tahun ini. Namun, pada kuartal dua, berdasarkan data Capital Economics, tingkat ekspor Brazil naik 7 persen. "Memang, hal itu tidak bisa mengesampingkan seluruh faktor negatif yang ada, tapi ada secercah harapan pada ekonomi Brazil," kata Shearing.

Waspada dengan perang dagang
Seorang ahli Wall Street Mohamed A El Erian, mendeskripsikan devaluasi yuan China saat ini merupakan upaya untuk "mencuri" pertumbuhan ekonomi dari negara lain. Menurut pria yang juga menjabat sebagai chief economic adviser Allianz ini, strategi China tersebut merupakan hal yang mengkhawatirkan bagi negara-negara berbasis ekspor yang berkompetisi langsung dengan China.

Vietnam juga sudah mendevaluasi mata uangnya, dong, untuk ketiga kalinya tahun ini setelah China. Keputusan untuk melemahkan nilai tukar itu bisa memicu potensicurrency war alias perang mata uang di mana pemerintah global akan berulang-ulang mendevaluasi maya uang mereka sebagai upaya untuk bisa bersaing di sektor perdagangan. Jika berkelanjutan, hal ini akan menjadi sangat berbahaya.

Harga barang impor melejit
Yang harus kita perhatikan saat ini adalah apakah mata uang negara-negara tersebut semakin tak berdaya. Sebab, jika itu terjadi, masyarakat biasa yang paling merasakan dampaknya. Apalagi negara yang sangat bergantung pada barang-barang impor untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Pasalnya, harga barang-barang yang berbasis dollar secara otomatis akan naik.

Venezuela menjadi salah satu contohnya. Pada tahun lalu, nilai tukar satu dollar AS setara dengan 82 bolivars. Bandingkan dengan saat ini yang nilai tukarnya mencapai 698 bolivars. Nilai tukar ini berdasarkan data dolartoday.com, situs yang menghimpun nilai tukar tidak resmi.

Perekonomian Venezuela terpukul dan barang-barang dasar seperti popok bayi sulit didapat. Pada awal tahun ini, pemerintah Trinidad dan Tobago menawarkan tisu kepada Venezuela untuk kemudian dibarter dengan minyak. Keoknya mata uang juga membuat perusahaan dan negara yang terkena dampak sulit membayar utang-utang mereka yang berbasis dollar AS. Sebab, nilai utang mereka akan kian membengkak.

Meski banyak hambatan, sejumlah negara akan menghadapi persimpangan-persimpangan ke depan. Namun, para analis menilai, jika mereka memilih arah yang tepat, mereka bisa membalikkan perekonomian menjadi lebih baik

No comments:

Post a Comment