“Dari 33 pihak yang mengetahui itu, 11 di antaranya menyatakan tertarik menerbitkan DIRE,” ujar Samsul di Jakarta, Senin (14/12). Namun, Samsul mengaku terdapat beberapa kendala yang dihadapi BEI dalam memfasilitasi perusahaan-perusahaan tersebut dalam menerbitkan DIRE. Pertama, ia menilai aturan perpajakan dalam penerbitan DIRE pada saat ini belum membuat para perusahaan tertarik.
“Kedua, investor kurang mengetahui. Penyebabnya adalah kurang liquid. Kami lihat harus adamarket maker, ini sedang kami kaji,” jelasnya. Saat ini, lanjutnya, jumlah DIRE atau yang secara internasional dikenal dengan istilah Real Estate Investment Trust (REIT) di Indonesia hanya senilai Rp 500 miliar. Hal itu jauh dibandingkan dengan nilai REIT di Eropa yang mencapai US$ 180 miliar, dan Amerika Serikat yang senilai US$ 960 miliar.
Kendati beberapa perusahaan menyatakan ketertarikannya dalam survei, Samsul menjelaskan, saat ini para pengembang properti tersebut belum secara resmi mengajukan minatnya ke BEI. "Belum ada yang serius. Mungkin kalau skemanya menguntungkan, banyak yang mau mencatatkan di Indonesia. Sekarang infrastruktur regulasinya belum sempurna, terutama skema pajak DIRE," pungkasnya.
Atas dasar hal itu, Samsul meminta pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) segera membenahi aturan perpajakan atas penerbitan DIRE ini. Menurutnya hal itu bakal membuat pasar DIRE akan berkembang di Indonesia. "Ini potensi pajak oleh pemerintah. Tentu yang penting lagi adalah industri properti akan lebih maju karena bisa memanfaatkan dana-dana masyarakat. Peraturan Menteri Keuangan kami harapkan secepatnya. Karena kalau tidak, pertumbuhan produk ini agak telat, terlambat," jelasnya.
Sementara itu, Direktur PT Ciputra Development Tbk Tulus Santoso mengaku masih menunggu kejelasan aturan perpajakan untuk menerbitkan DIRE. Selain itu, pasar investor yang masih belum besar dinilai jadi salah satu pertimbangan. “Pajak, kemudian Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) jadi faktor pertimbangan. Kemudian dari sisi investor masih kami kaji terus,” ujarnya. Tulus menjelaskan, jika dilihat dari porsi pendapatan berulang (recurring income) perseroan saat ini, maka potensi penerbitan DIRE terbilang besar. Namun, ia menyatakan masih melihat situasi yang ada terkait kejelasan aturan dan kondisi pasar.
“Recurring kami saat ini secara nilai kira-kira Rp 10 triliun. Potensinya secara teoritis bisa sebagaiunderlying asset, tinggal aturannya,” jelasnya. Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) masih menahan diri untuk menerbitkan Kontrak Investasi Kolektif melalui Dana Investasi Real Estat (DIRE) dan memilih menunggu kejelasan aturan perpajakan atas instrumen investasi baru tersebut.
Wakil Ketua Umum Bidang Komunikasi dan Pengembangan Usaha REI Theresia Rustandi mengatakan sebenarnya ia berharap Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bisa segera memberikan keputusan, terkait ketentuan pajak dari DIRE. “Saya lihat masih terjadi pembahasan, kalau janjinya bisa secepatnya diselesaikan, ya baik. Tapi memang ada itikad baik dari DJP karena mau mendengarkan stakeholder,” ujar Theresia di Jakarta, Senin (14/12).
Sekretaris Perusahaan PT Intiland Development Tbk tersebut mengaku ketertarikan para pengembang untuk menerbitkan DIRE lumayan besar. Paling tidak, lanjutnya, pengembang besar yang melantai di bursa saham sudah melirik DIRE sebagai alternatif dalam mencari pendanaan. “Kalau emiten tidak nyaman, ya bagaimana bisa menerbitkan DIRE? Saya harap peraturan itu bisa sesuai dengan kondisi industri. Emiten banyak yang tertarik, misalkan ada 20 emiten, 10 emiten yang besar rata-rata mengeluarkan at least Rp 2 triliun, itu sudah bisa Rp 20 triliun potensinya,” jelas Theresia.
Ia menegaskan kejelasan aturan pajak menjadi faktor utama pengembang properti menahan diri. Pasalnya, saat ini pengalihan aset (capital gain) ke DIRE dibebankan pajak sekitar 20 persen dari nilai. Hal itu dinilai membuat pengembang tidak tertarik menerbitkan DIRE. Kewajiban pajak tersebut terbagi atas Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) 5 persen, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, dan Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 5 persen.
DIRE atau dikenal juga sebagai Real Estate Investment Trust (REIT) adalah salah satu instrumen investasi baru yang secara hukum di Indonesia berbentuk Kontrak Investasi Kolektif. DIRE merupakan kumpulan uang pemodal yang oleh perusahaan investasi akan diinvestasikan ke bentuk aset properti baik secara langsung seperti membeli gedung atau produk properti maupun tidak langsung dengan membeli saham atau obligasi perusahaan properti.
Sebelumnya, Kepala Seksi Analisis Peraturan Perpajakan DJP, Waskito Nugroho menjanjikan bakal merevisi aturan perpajakan penerbitan DIRE agar lebih kompetitif dengan negara-negara tetangga. “Tetapi tidak semua peraturan di bawah itu bisa dipakai, tetap harus mengacu undang-undang. Kita akan mengevaluasi peraturan yang ada. Kita akan mengajak pelaku bisnis dan OJK,” katanya.
Waskito mengakui, pembebanan PPh terhadap selisih nilai harga pokok penjualan (HPP) dan nilai penjualan aset (capital gain) masih mengganggu minat perusahaan properti untuk memanfaatkan DIRE. Namun, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro dan Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution telah memberikan lampu hijau untuk mengusahakan perbaikan aturan. “Nanti akan ada Peraturan Pemerintah (PP) yang akan memberikan pengaturan yang berbeda dan bakal diberikan diskon di bawah 5 persen. Tetap kena objek pajak, tapi tarifnya kita diskon,” tuturnya.
No comments:
Post a Comment