“Hal ini mengakibatkan PDAM tidak bisa melakukan ekspansi. Padahal air ini kebutuhan sangat mendasar. Tapi kebanyakan PDAM ini merugi sehingga tidak punya kemampuan untuk menambah kapasitas,” ujar Rizal di kantornya, kemarin. Rizal membandingkan harga satu meter kubik air PDAM yang dijual seharga Rp 3 ribu dengan harga jual air kemasan produksi perusahaan swasta yang bisa mencapai Rp 800 ribu per kubik.
“Jadi return of capital-nya sangat kecil. Nah ini mesti dibenahi,” kata Rizal. Mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian di era Pemerintahan Abdurrahman Wahid tersebut menargetkan bisa membenahi keuangan 50 PDAM dalam dua tahun ke depan. Jika arahan perbaikan yang diberikannya terbukti berhasil, Rizal menyatakan bakal menyanggupi permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membenahi 300 PDAM yang merugi ke depan.
Selain upaya menaikkan harga jual untuk mendongkrak pendapatan PDAM, Rizal tidak menutupi jika selama ini manajemen PDAM cenderung membiarkan terjadinya kebocoran air akibat perilaku menguntungkan pihak-pihak tertentu dalam perusahaan. “Banyak dari PDAM-PDAM ini meteran saja tidak punya. Sehingga tidak ketahuan produksi berapa, distribusi berapa. Jadi tinggal dilaporkan bocor segini, ya duitnya ditilep lah. Ini kita akan rapikan,” ujarnya.
Sebagai langkah awal, Rizal akan membentuk Dewan Air Nasional. Dewan ini nantinya memiliki wewenang untuk menyusun kebijakan penentuan harga (pricing) sehingga PDAM bisa menerima pendapatan yang sehat. Selain itu, Dewan Air Nasional juga akan menentukan standar kualitas air minum yang harus dimiliki oleh PDAM. “Kita ingin kualitas air yang lebih baik, yang lebih bagus sehingga rakyat sehat,” ujarnya.
Tak hanya itu, Rizal juga akan meminta PDAM untuk melakukan revaluasi aset mengingat aset PDAM banyak yang masih dicatat dengan harga historis. Selisih aset hasil revaluasi itu akan dimasukkan ke dalam modal sehingga akan memperkuat modal PDAM. Lebih lanjut, pemerintah juga akan merestrukturisasi utang PDAM. Bahkan, bagi PDAM yang terlilit utang pada negara, utangnya bisa dihapus untuk menyehatkan kondisi keuangannya.
“Beberapa dari PDAM ini terlibat dalam utang kepada pemerintah pusat yang bunga berbunga dari utang pokok berkembang menjadi berkali-kali. Kami juga akan melakukan restrukturisasi utang, termasuk me-write-off jika diperlukan,” kata Rizal. Setelah kondisi keuangan sehat, pemerintah akan mencarikan pembiayaan bagi PDAM untuk melakukan ekspansi. Dengan demikian, pasokan air minum bersih bisa menjangkau seluruh masyarakat. Disebutkan Rizal, saat ini hanya 45 persen dari total penduduk Indonesia yang mampu dijangkau PDAM.
“Kita akan carikan financing bagaimana supaya mereka itu bisa nambah kapasitas, ekspansi kapasitas. Termasuk di dalamnya meningkatkan jaringan,” ujarnya. Pengusaha penyedia Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) menyesalkan usulan ketentuan dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Sistem Penyediaan Air Minum (RPP SPAM) yang muncul akibat pembatalan Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Pasalnya RPP itu hanya mengizinkan distribusi air minum dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Pengusaha mengklaim bahwa poin RPP tersebut tak sejalan dengan hasil putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Februari kemarin. Sebagai tindak lanjut, pengusaha menginginkan pemerintah untuk merevisi kembali RPP tersebut karena sudah banyak swasta yang membuat perjanjian pinjaman dengan bank untuk masuk ke dalam pengusahaan distribusi air SPAM.
"Sekarang yang kami sesalkan adalah distribusi SPAM di dalam RPP itu, kenapa harus dengan BUMN dan BUMD padahal dalam poin putusan MK tak disebutkan hal tersebut? Padahal beberapa anggota kami sudah mendapat pinjaman perbankan untuk melakukan usaha itu," jelas M. Rahmat, anggota Persatuan Perusahaan Air Minum (Perpamsi) di Jakarta, Kamis (18/6). Ia mengatakan, kerjasama dengan pihak perbankan ini sudah dilaksanakan sebelum pembatalan UU tersebut keluar, dan perbankan kini ragu-ragu memberikan pembiayaan karena mereka harus menyalurkan uang ke lembaga yang bukan pihak kedua dalam perjanjian sebelumnya.
"Gagalnya kerjasama dengan perbankan akibat RPP ini sangat disesalkan padahal kami sudah melobi bank sejak lama. Kalau pembiayaan tidak jadi, tidak ada proyek lagi, kami makin rugi," tambahnya. Selain masalah gagalnya pembiayaan, pengusaha SPAM juga menyayangkan adanya pelarangan kontrak pemerintah dan swasta (KPS) di dalam penyediaan air minum bagi publik. Rahmat mengatakan, selama ini hanya terdapat satu proyek SPAM dengan sistem kerjasama pemerintah swasta (KPS) dimana pihak swasta sebagai pemilik dominan, sehingga pembatalan UU Nomor 7 tahun 2004 tersebut dampaknya tak begitu signifikan terhadap pertambahan kelolaan air oleh BUMD.
"Untuk KPS yang swastanya mendominasi, di Indonesia itu hanya satu dan demi memenuhi air bersih di lima kecamatan di Tangerang. Kawasan tersebut dijadikan KPS karena PDAM setempat tidak mampu menjangkau lima kecamatan tersebut, nah kalau itu dihentikan apakah PDAM sudah siap? Selain itu kalau dihentikan, pengelolaan air yang nantinya harus dialihkan ke BUMD juga cuma kecil, hanya 1.300 meter kubik per detik," terangnya.
Selain di Tangerang, ia mengatakan bahwa penghapusan beleid ini juga secara langsung telah membatalkan tender bagi dua proyek pengelolaan SPAM secara KPS yang akan dilangsungkan di Lampung dan Semarang Barat. Rahmat tak mengetahui secara pasti berapa nilai investasi SPAM yang batal secara total, tapi untuk investasi SPAM di Lampung nilainya mencapai Rp 2 triliun.
"Di saat pemerintah tak bisa memenuhi air bersih bagi publik, kami yang mau membantu malah tidak diperbolehkan. Semoga RPP-nya cepat diubah, dan untungnya sampai sekarang RPP tersebut belum lolos dari Kementerian Hukum dan HAM," tegasnya. Ia mengatakan, sejauh ini pemerintah baru mampu menyediakan 6,4 juta meter kubik per tahun air bersih, atau baru memenuhi 20 persen dari kebutuhan air bersih untuk keperluan rumah tangga secara keseluruhan. Bahkan dari data Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat yang dipegang olehnya, hanya 48 persen dari PDAM tersebut yang memiliki kondisi baik.
Sebagai informasi, dengan dibatalkannya UU Nomor 7 tahun 2004, maka pengelolaan sumber daya air kembali mengacu pada UU Nomor 11 tahun 1974. Dengan demikian, pengusahaan sumber daya air oleh swasta atau KPS baru ke depannya sudah tidak memiliki dasar hukum lagi.
No comments:
Post a Comment