Industri hilir pertambangan mutlak dibangun. Sebab, peluang permintaan akan produk hilirisasi pertambangan terbuka lebar. Dari China misalnya, salah satu negara mitra dagang utama Indonesia, yang kini tengah menuju menjadi negara teknologi maju, kebutuhan akan aluminium danstainless steel amat besar. Salah satu contohnya, dalam industri perkeretaapian di China.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan mengatakan, sebanyak 70 persen komponen kereta api berasal dari aluminium dan stainless steel. “Seharusnya kita yang punya deposit aluminium dan stainless steel di dunia harus bisa mengarahkan atau menghasilkan komponen-komponen tersebut,” kata dia kepada wartawan usai pembukaan Pusat Desain dan Rekayasa Industri Penunjang Perkeretaapian, di Institut Teknologi Bandung, hari ini, Jumat (11/12/2015).
“Artinya, China jangan ambil mentah dari kita. Tetapi sudah berbentuk komponen stainless steel atau aluminium,” kata dia lagi. Bukan baru-baru ini saja, hilirisasi tambang memang terus diserukan oleh pemerintah. Sejak 2009, pemerintah melalui Undang-undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral Tambang dan Batubara (Minerba) telah mengamanatkan seluruh material mentah untuk dilakukan pengolahan dan peningkatan nilai tambah di dalam negeri.
Namun hingga saat ini, pelaksanaan amanat UU Minerba terkesan setengah hati. Aturan turunan dari beleid itu pun dinilai Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI banyak melenceng. UU Minerba masuk dalam salah satu usulan yang kena revisi. Lantas, apa hasil dari pelaksanaan UU Minerba lima tahun terakhir? Beberapa waktu lalu, berkesempatan mengunjungi salah satu proyek fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih mineral (smelter) bauksit di Ketapang, Kalimantan Barat.
Smelter patungan milik pengusaha Indonesia dan China itu tersendat pembangunannya, lantaran pelarangan ekspor mineral mentah. Padahal, smelter itu dibangun untuk mengolah bauksit mentah menjadi smelter grade alumina (SGA). SGA ini merupakan bahan baku pembuatan aluminium oleh salah satunya PT Inalum (Persero).
Di Indonesia, belum ada satupun pabrik pengolahan SGA. Sehingga, seluruh SGA diimpor dari Australia. Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang dikerjakan konsorsium Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Indonesia dan BUMN China terus menyita banyak perhatian. Jelas saja, selain karena nilai investasinya yang fantastis, kereta jenis ini memang belum bisa direkayasa oleh industri dalam negeri.
Namun siapa sangka, China yang berkembang pesat menuju negara teknologi maju pun hingga saat ini masih banyak menggunakan komponen impor dalam pembuatan kereta cepat. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu Suryawirawan, kepada wartawan, di Bandung, Jumat (11/12/2015).
Putu menceritakan perihal kunjungan Menteri Perindustrian Saleh Husin ke Qingdao, China, pada Sabtu (5/12/2015). Dalam kunjungannya, rombongan sempat menyambangi pabrik kereta dan pusat riset industri kereta api China Railway Rolling Stock (CRRC) Qingdao Sifang Co Ltd, yang berlokasi di tenggara Beijing. “Kalau saya lihat, sebenarnya mereka tidak membuat sendiri. Sebagian besar impor, rem, motor step. Tetapi mereka punya desain,” tutur Putu usai peresmian Pusat Desain dan Rekayasa Industri Penunjang Perkeretaapian, di Institut Teknologi Bandung, hari ini.
Putu pun berharap, Pusat Desain dan Rekayasa Industri Penunjang Perkeretaapian yang diresmikan itu akan berkembang menjadi seperti CRRC. Pengembangan dari hasil Pusat Desain dan Rekayasa Industri Penunjang Perkeretaapian, bisa dilakukan oleh BUMN lain seperti PT INKA (Persero). “Industri yang benar itu ya seperti CRRC. Mereka punya design center, pengujian. Dia punya satu model yang ditawarkan untuk diproduksi masal,” lanjut Putu.
Putu mengatakan, dalam kunjungan rombongan ke Qingdao, pihak CRRC tidak menyebutkan nominal investasi untuk mengembangkan pusat desain lengkap dengan fasilitas produksi yang terintegrasi. “Tetapi rasanya, kalau dilihat dari alat-alatnya mahal sekali. Bisa sampai Rp 10 triliun sampai Rp 15 triliun,” taksir Putu.
Meski tak semua komponen kereta cepat direkayasa sendiri oleh industri dalam negeri China, teknologi produk impor tersebut sudah mereka kuasai. Dengan begitu, lebih mudah untuk perawatan dan perbaikannya. “Dalam kunjungan ini yang menjadi hal tak dilupakan ternyata mereka gunakan banyak aluminium danstainless steel," kata Putu lagi.
Lebih lanjut dia bilang, harusnya Indonesia yang kaya akan tambang bauksit dan nikel, bisa memanfaatkan kekayaan alam tersebut untuk produk yang lebih hilir. Sebagaimana diketahui bauksit merupakan bahan mentah penghasil aluminium, sedangkan nikel dapat diolah menjadi stainless steel. “Kita harus bisa menghasilkan komponen-komponennya. Artinya, China jangan ambil mentah dari kita. Tapi sudah berbentuk komponenstainless steel atau aluminium,” tegas Putu.
No comments:
Post a Comment