Thursday, December 24, 2015

Bakrie Telecom Alami Rugi Rp 3,66 Triliun

PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) mencatatkan rugi sebesar Rp 3,66 triliun hingga kuartal III-2015. Pada periode yang sama tahun lalu, emiten provider Esia ini membukukan kerugian Rp 2,29 triliun.

Beban perusahaan serta rugi dari selisih kurs jadi penyebab utama semakin membengkaknya kerugian perseroan. Tak hanya itu, pendapatan usaha BTEL yang merosot ikut berkontribusi pada pada kerugian perusahaan. Dikutip dari laporan keuangan yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (24/12/2015), beban usaha BTEL mengalami kenaikan menjadi Rp 2,41 triliun, dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 1,39 triliun.

Pendapatan usaha emiten berkode BTEL ini di kuartal III-2015 mencapai Rp 478,84 miliar. Perolehan pendapatan ini merosot drastis, jika dibandingkan dengan pendapatan usaha tahun lalu, yaitu Rp 1,22 triliun. Laporan keuangan BTEL semakin berdarah-darah dengan kerugian selisih kurs yang dialami perusahaan yang per September 2015, yang mencapai Rp 1,32 triliun. Naik 468% dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 232,93 miliar. Mayoritas saham operator seluler ini dipegang oleh 69,6% oleh publik, sementara pengendali saham terbanyak kedua yaitu PT Bakrie and Brother Tbk, dan sisanya dimiliki Raiffeisen Bank International AG 7,2%, dan PT Bakrie Global Ventura 6,9%.

Jika Anda adalah pelanggan ESIA khususnya layanan data internet, sejak beberapa hari yang lalu mungkin Anda merasakan bahwa Anda tidak lagi mendapat jaringan EVDO untuk akses internet Anda atau tidak bisa melakukan pendaftaran paket Internet ESIA bulanan.

Hal itu bukan karena ESIA mengalami gangguan sinyal atau semacamnya, melainkan pertanggal 5 Maret 2015 ESIA sudah menghentikan layanan paket bulanan. Bagi pelanggan setia ESIA hal ini tentunya menjadi kabar buruk, karena mulai saat ini Anda harus kembali mencari-cari provider internet yang murah dan memiliki kecepatan yang stabil seperti ESIA. Bahkan tidak hanya layanan paket bulanan ESIA saja yang dihentikan, mulai tanggal 1 April 2015 mendatang, ESIA akan menutup penuh akses layanan data internet dan hanya akan menjadi provider biasa (telpon/sms) tanpa layanan internet.

Lalu apa alasan ESIA menghentikan layanan data internet? Apakah Bakrie Telecom mulai bangkrut? Bakrie Telecom Rugi Rp 3,66 Triliun Dalam 9 Bulan. PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) mencatatkan rugi sebesar Rp 3,66 triliun hingga kuartal III-2015. Pada periode yang sama tahun lalu, emiten provider Esia ini membukukan kerugian Rp 2,29 triliun.

Beban perusahaan serta rugi dari selisih kurs jadi penyebab utama semakin membengkaknya kerugian perseroan. Tak hanya itu, pendapatan usaha BTEL yang merosot ikut berkontribusi pada pada kerugian perusahaan. Dikutip dari laporan keuangan yang dipublikasikan di Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (24/12/2015), beban usahaBTEL mengalami kenaikan menjadi Rp 2,41 triliun, dari periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 1,39 triliun.

Pendapatan usaha emiten berkode BTEL ini di kuartal III-2015 mencapai Rp 478,84 miliar. Perolehan pendapatan ini merosot drastis, jika dibandingkan dengan pendapatan usaha tahun lalu, yaitu Rp 1,22 triliun Laporan keuangan BTEL semakin berdarah-darah dengan kerugian selisih kurs yang dialami perusahaan yang per September 2015, yang mencapai Rp 1,32 triliun. Naik 468% dibanding periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp 232,93 miliar.

Mayoritas saham operator seluler ini dipegang oleh 69,6% oleh publik, sementara pengendali saham terbanyak kedua yaitu PT Bakrie and Brother Tbk, dan sisanya dimiliki Raiffeisen Bank International AG 7,2%, dan PT Bakrie Global Ventura 6,9%. Bakrie Telecom Mulai Pecat Karyawan. Analis PT Asjaya Indosurya Securities, William Surya Wijaya, menilai langkah efisiensi karyawan yang dilakukan PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL) sudah tepat agar kerugian perusahaan tidak semakin berlanjut.

Menurut William, jika efisiensi karyawan tidak dilakukan, perusahaan akan semakin terpuruk dan kerugiannya membengkak. ”Kerugian yang tak segera ditanggulangi berpotensi mematikan perusahaan seluruhnya,” kata William saat dihubungi Selasa, 10 Maret 2015. William menambahkan, kondisi pasar code division multiple access (CDMA) memang suram seiring dengan persaingan harga yang ketat, sehingga terjadi migrasi ke frekuensi global system for mobile communications (GSM). Nasib karyawan Flexi, divisi usaha PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., lebih baik karena Telkom mengalihkan karyawannya ke divisi bisnis GSM.

Bakrie Telecom juga menghadapi gugatan dari sebagian investor obligasi perusahaan di Pengadilan Negara Bagian New York. Hal Hirsch, pengacara yang mewakili sekelompok investor Bakrie Telecom, menuding perusahaan sedang bersiasat melanggar kontrak obligasi senilai US$ 380 juta tersebut. Perusahaan itu dituding sedang menggunakan ”cara kreatif” untuk memastikan bahwa restrukturisasi utang mereka disetujui kreditor.

Akibat utang perusahaan yang membengkak dan modal yang negatif, perusahaan operator telekomunikasi anak usaha Grup Bakrie, PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL), ini mengurangi jumlah karyawannya. Presiden Direktur Bakrie Telecom Jastiro Abi mengatakan pengurangan pegawai sebagai strategi perusahaan agar operasional menjadi lebih efektif. ”Tapi jumlahnya tidak seberapa, tidak sampai 800 karyawan. Setengahnya dari itu juga enggak sampai,” kata Jastiro. Jastiro enggan merinci jumlah karyawan yang akan dirumahkan oleh perusahaan.

Menurut Jastiro, pengurangan karyawan merupakan bagian dari langkah efisiensi agar operasional perusahaan lebih efektif. Dia membantah kabar bahwa perusahaan terancam bangkrut dengan adanya pengurangan karyawan tersebut. ”Operasional tetap jalan seperti biasa, tapi kondisi keuangan perusahaan memang memaksa kami melakukan efisiensi,” ujarnya. Jumlah karyawan perusahaan operator telekomunikasi berbasis CDMA dengan merek Esia itu per Desember 2013 mencapai 1.438 orang. Jika karyawan yang dirumahkan mencapai 400 orang, itu berarti 28 persen dari total jumlah karyawan perusahaan.

Kinerja PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) semakin terpuruk. Di kuartal I-2015 BTEL mencatat rugi bersih senilai Rp 1,5 triliun. Padahal pada periode sama tahun lalu perseroan masih mencatatkan laba Rp 211,4 miliar. Dari laporan keuangan perseroan yang dirilis akhir pekan lalu, pendapatan BTEL turun 59,9 persen year on year (yoy) menjadi Rp 188,48 miliar dari sebelumnya Rp 471,13 miliar. Pendapatan jasa telekomunikasi BTEL turun menjadi Rp 158,7 miliar dari sebelumnya Rp 423,46 miliar. Sementara pendapatan jasa interkoneksi turun menjadi Rp 29,77 miliar dari sebelumnya Rp 47,6 miliar.

Di sisi lain, beban usaha BTEL naik hampir dua kali lipat dari Rp 455,6 miliar menjadi Rp 842,9 miliar. Hal ini membuat perseroan membukukan rugi usaha Rp 711,3 miliar, melonjak hampir sepuluh kali lipat dari Rp 65 miliar di periode sama tahun lalu. Selanjutnya beban keuangan naik menjadi Rp 260,27 miliar dari sebelumnya Rp 170,27 miliar. Perseroan juga mengalami rugi selisih kurs Rp 328,26 miliar dibanding periode sama tahun lalu, dimana BTEL mencatat laba selisih kurs Rp 440,1 miliar.

Per akhir Maret 2015, total aset BTEL tercatat Rp 6,8 triliun, turun dari sebelumnya Rp 7,6 triliun. Kas dan setara kas perseroan menjadi Rp 11,8 miliar, turun dari sebelumnya Rp 15,8 miliar. Total liabilitasnya Rp 12,2 triliun naik dari sebelumnya Rp 11,5 triliun. BTEL mengalami defisiensi modal senilai Rp 5,4 triliun atau naik dari sebelumnya Rp 3,8 triliun. Managemen BTEL menjelaskan, adanya defisiensi modal ini sebagian besar disebabkan oleh rugi penurunan nilai aset, penghapusan uang muka dan pengembangan proyek, selisih kurs, beben keuangan, serta kerugian usaha di tahun-tahun sebelumnya.

Untuk itu managemen akan mengambil beberapa langkah, diantaranya mengikuti ketentuan perjanjian perdamaian dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), melanjutkan kerjasama dengan para pemasok dan operator telekomunikasi, menerapkan kebijakan pengendalian biaya, serta merestrukturisasi utang wesel senior. PT Bakrie Telecom Tbk., perusahaan telekomunikasi milik grup Bakrie, mencatatkan performa yang semakin buruk pada 2014. Sepanjang tahun lalu rugi bersih perseroan tercatat Rp 2,87 triliun, naik 8,7 persen dari Rp 2,64 triliun pada 2013.
Jebloknya kinerja Bakrie Telecom yang dikenal dengan produk Esia tersebut, disebabkan oleh pendapatannya yang anjlok 13 persen menjadi Rp 1,8 triliun dari sebelumnya Rp 2,07 triliun. Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, pendapatan jasa telekomunikasi jeblok 42,3 persen menjadi Rp 1,27 triliun, sementara pendapatan jasa interkoneksi turun 22 persen menjadi 184,2 miliar.

Hal itu ditambah dengan beban pendapatan yang naik 3 persen menjadi Rp 2,13 triliun dari sebelumnya Rp 2,07 triliun. Karena hal itu, perseroan menanggung rugi usaha Rp 947,55 miliar. Padahal, dalam tahun sebelumnya perseroan masih mencatatkan laba usaha Rp 3,6 miliar. Total aset Bakrie Telecom di sepanjang 2014 sebesar Rp 7,59 triliun, turun dari sebelumnya Rp 9,13 triliun. Hal itu juga diikuti penaikan liabilitas atau kewajiban perseroan, menjadi Rp 11,46 triliun, naik dari sebelumnya Rp 10,13 triliun.

Bakrie Telecom mulai mencatatkan rugi bersih sejak 2011 dan mencetak performa ekuitas buruk sejak 2013. Pada 2011 perseroan merugi Rp 782,7 miliar, kemudian utang kian melonjak menjadi Rp 3,13 triliun pada 2012 dan Rp 2,64 triliun pada 2013. Namun, pada tiga bulan pertama 2014, laporan perusahaan keuangan sempat membukukan laba bersih Rp 210 miliar karena terdongkrak selisih kurs.

Atas dasar hal tersebut, sebelumnya Bakrie Telecom mengurangi jumlah karyawan hingga 28 persen atau 400 dari 1.400 total karyawannya untuk menekan biaya operasional. Manajemen menyatakan pemecatan pegawai sebagai strategi perusahaan agar operasional menjadi lebih efektif. Pengurangan jumlah karyawan dinilai merupakan bagian dari langkah efisiensi perusahaan agar operasional lebih efektif.

Perseroan juga diketahui memiliki total kewajiban utang senilai Rp 11,3 triliun. Beberapa di antaranya adalah, utang biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi dan universal service obligation (USO) senilai Rp 1,26 triliun, utang usaha Rp 2,4 triliun, utang tower provider Rp 1,3 triliun, dan utang dana hasil wesel senior Rp 5,4 triliun.

No comments:

Post a Comment