Sementara Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat pada 2013 sampai kuartal II 2014, industri perikanan Thailand mengalami penurunan. Kemudian mulai membaik dari pertengahan kuartal III sampai pertengahan kuartal IV. Namun sejak itu, industri perikanan Thailand terus menurun hingga saat ini. Salah satu penyebab utamanya adalah kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang mulai memberantas kapal penangkap ikan ilegal dan moratorium bekas kapal asing di kuartal IV 2014.
“Hal ini menunjukkan ketergantungan perikanan Thailand dengan pasokan ikan dari Indonesia. Selama setahun terakhir pemberantasan illegal fishing, sejumlah kapal berbendera Thailand berhasil ditangkap saat mengambil ikan di perairan Indonesia,” kata Susi, dikutip Rabu (16/12).
Selain sebagai kejahatan perikanan, Susi juga ingin mendorong Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU)Fishing sebagai permasalahan global dan memiliki sifat kejahatan transnasional. Salah satu alasan Susi ingin mengecam lebih luas penangkapan pencuri ikan karena kejahatan ini kerap memfasilitasi pelanggaran lainnya, seperti perdagangan satwa liar, perdagangan senjata, penyelundupan narkoba dan perbudakan.
“Mereka tidak bisa melakukan itu lagi. Saya mendorong penangkapan ikan ilegal menjadi kejahatan transnasional, karena ada terlalu banyak kejahatan lainnya yang berhubungan dengan itu, seperti penyelundupan narkoba,” katanya. World Wildlife Fund (WWF) dan The Pew Charitable Trusts memperkirakan sebanyak 20 persen dari keseluruhan ikan yang ditangkap secara global merupakan hasil tangkapan ilegal. Setidaknya kegiatan ini bernilai sekitar US$ 23 miliar per tahun, di mana ikan hasil laut Indonesia yang dicuri bernilai sekitar US$ 4 miliar.
“Kami telah mengalami kerugian yang luar biasa dari dampak kapal asing. Dalam 10 tahun terakhir, kami kehilangan 800 ribu rumah tangga nelayan. 115 eksportir ikan bangkrut selama periode yang sama. Banyak nelayan beralih profesi,” tuturnya. Indonesia kehilangan banyak potensi penerimaan negara dari sektor perikanan dan kelautan. Mengutip data Bank Dunia, Menteri Keluatan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyebut Indonesia telah merugi US$ 25 miliar akibat aksi illegal fishing yang merajalela selama ini.
Akibatnya penanganan pencurian ikan yang tidak benar, Susi memastikan sektor kelautan dan perikanan belum memberikan kontribusi pendapatan yang pantas untuk negara. Menurut Susi, Indonesia sebagai negara kepulauan dengan 70 persen lautan menyimpan potensi sumber daya ikan yang sangat besar untuk menopang perekonomian bangsa. Namun ironisnya, sektor perikanan kontribusinya masih sangat rendah terhadap penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sebagai contoh, ekspor perikanan tangkap yang ilegal ditaksir merugikan negara triliunan rupiah. Akibat ekspor ilegal itu, setoran pajak yang diterima negara pun anjlok.
Susi menyebut dalam satu tahun terakhir penangkapan ekspor perikanan ilegal meningkat dibandingkan 20 tahun terakhir. Sebanyak 6 ribu ton lobster pun terancam hilang akibat aksi ekspor bibit lobster ilegal yang marak dilakukan dengan negara tujuan utama Vietnam. "Vietnam yang sebelumnya tidak bisa ekspor sekarang mereka ekspor bisa mencapai 4 ribu ton, sementara kita dari 6 ribu ton hanya bisa ekspor 300 ton saja," ujar Susi ditemui di Kementerian Keuangan usai menandatangani nota kesepahaman dengan Menteri Keuangan, Selasa (15/12).
Maka menurut Susi, praktik perikanan tangkap di Indonesia akan di tata ulang sejalan dengan arahan Presiden. Hal itu sebagai upaya untuk mengembalikan keuangan negara yang dikeluarkan untuk subsidi BBM nelayan. Senada dengan Susi, Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro juga menyebut negara dirugikan dengan adanya aksi ekspor ilegal. "Keuntungan yang didapat pelaku ekspor memang besar, namun sayang pajaknya dinikmati negara lain," ujar Bambang.
Kendati demikian, Bambang pun mengapresiasi langkah Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mau menjalin kerjasama terkait pengelolaan data penerimaan negara di sektor kelautan dan perikanan. Menurut Bambang, kerjasama tersebut sangat membantu tugas Kementerian Keuangan dalam upaya memperoleh penerimaan negara. Pasalnya selama ini menurut Bambang, sebanyak 85 persen pendapatan negara yang tercatat di APBN disumbang dari jerih payah pegawai Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Oleh sebab itu, sebagai pencatat harta kekayaan negara, lanjut Bambang, Kementerian Keuangan memerlukan kerjasama serupa dengan kementerian dan lembaga lain guna mengukur data potensi penerimaan negara. "Keberhasilan penerimaan negara hanya bisa tercapai kalau data dan informasinya lengkap dan tercatat dengan baik," ujarnya.
No comments:
Post a Comment