Bank Indonesia (BI) menilai pemangkasan kembali nilai tukar (devaluasi) mata uang Cina Yuan oleh People Bank of China (PBoC) sesuai prediksi. Pasalnya, saat ini perekonomian negeri tirai bambu tersebut diketahui tengah mengalami pelemahan. "Tapi ada kekhawatiran yaitu kalau seandainya ekonomi Tiongkok itu melemah kemungkinan devaluasi Yuan akan ada lagi," kata Gubernur BI Agus DW Martowardojo di Gedung Thamrin Kantor Pusat BI, Jakarta, Kamis (10/12).
Seperti diketahui, PBoC kembali memangkas nilai yuan ke level US$ 6,42 per dolar setelah sebelumnya mematok kurs tengah yuan di angka US$ 6,4 per dolar. Adanya devaluasi Yuan membuat harga barang-barang buatan China lebih murah sehingga akan meningkatkan ekspor negaranya. Sementara itu, Lana Soelistianingsih, Kepala Ekonom PT Samuel Aset Manajemen berpendapat keputusan PBoC untuk mengambil jalan pintas dengan mendevaluasi mata uangnya di luar perkiraan.
Pasalnya, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) telah mengumumkan masuknya yuan ke dalam keranjang special drawing right (SDR) yang membuat yuan seharusnya lebih fleksibel. "Kami duga mereka melemahkan yuan dengan kebijakan moneter seperti menggunakan Giro Wajib Minimum (GWM) atau menurunkan bunga deposito maupun kredit," kata Lana ditemui terpisah.
Devaluasi Yuan membuat sebagian pelaku pasar menduga pelemahan ekonomi China lebih dalam dari yang diperkirakan. Bahkan, mungkin lebih rendah dari angka pertumbuhan ekonomi yang diumumkan secara resmi. Pada kuartal III 2015, perekonomian China tercatat tumbuh 6,9 persen (year on year). Turun 0,1 persen dibandingkan kuartal sebelumnya. Akhirnya, PBoC mengambil jalan pintas dengan cara memangkas nilai tukarnya demi mendongkrak kinerja ekspor.
"Kalau begini artinya China betul-betul membutuhkan bantuan kursnya untuk mendorong pertumbuhan ekonominya," tutur pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI) ini. Kebijakan Dana Moneter Internasional (IMF) memasukkan yuan sebagai mata uang internasional, tidak membuat bank sentral China (The People’s Bank of China/PBoC) percaya diri. Kemarin, PBoC kembali memangkas nilai yuan ke level US$ 6,42 per dolar setelah sebelumnya mematok kurs tengah yuan di angka US$ 6,4 per dolar.
Nilai tersebut telah turun 0,5 persen sejak IMF memasukkan yuan sebagai special drawing rightsyang baru bersama mata uang lainnya yang telah menjadi mata uang internasional lebih dulu. CNNMoney memberitakan, PBoC pada 7 Desember 2015 lalu melaporkan tinggal memiliki cadangan devisa sebesar US$ 3,4 triliun. Level terendah sejak awal November 2013. Julian Evans-Pritchard, Kepala Ekonom Capital Economics untuk China menyatakan sepanjang tahun ini banyak investor asal negara tirai bambu tersebut yang mencoba melarikan uangnya ke luar negeri.
“Salah satunya adalah dengan menanamkan investasi di proyek-proyek properti di New York atau London, karya seni bernilai tinggi, atau membeli saham dan surat utang di luar negeri,” ujar Evans-Pritchard, dikutip Kamis (10/12). Meskipun angka resmi sulit diperoleh dari Pemerintah China, namun Capital Economics mencatat menguapnya dana keluar dari China telah terjadi sejak Agustus 2015 saat negara tersebut melakukan devaluasi mata uangnya secara besar-besaran.
“Kondisi tersebut membuat aksi jual besar di pasar saham Cina dan kekhawatiran bahwa perekonomian China akan melambat lebih dari yang diperkirakan pemerintah,” katanya. Dengan membiarkan modal keluar dari China, para pengusaha lokal negara tersebut justru berburu dolar, euro dan mata uang negara lain untuk berinvestasi di luar negeri. Kondisi tersebut membuat yuan jatuh lebih dalam, yang coba diantisipasi PBoC dengan mengerahkan cadangan devisanya.
"Tampaknya masuk akal untuk mengasumsikan bahwa hampir setengah dari penurunan cadangan devisa China terjadi pada pasar valuta asing," kata Marc Chandler, Kepala Strategi Mata Uang Brown Brothers Harriman.
No comments:
Post a Comment