Tuesday, December 22, 2015

Demi Kepastian Laba, Pengusaha Properti Minta Pemerintah Naikkan Harga Rumah 10 Persen Plus Inflasi Tiap Tahun

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menolak usulan Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) yang meminta pemerintah menerbitkan formula baku penaikan harga rumah setiap tahun di angka 10 persen plus inflasi. Penolakan tersebut berlaku untuk program rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PUPR Maurin Sitorus meminta pengembang untuk tidak menaikkan harga rumah murah lebih dari 5 persen per tahun. Kementerian PUPR menurut Maurin memiliki kepentingan untuk menjaga daya beli masyarakat yang pasti akan semakin tertekan bila harga rumah murah naik lebih tinggi dari 5 persen per tahun. "Kami minta pengembang untuk tidak terlalu banyak mengambil untung dari rumah MBR, maka kenaikannya juga kami batasi saja di angka 5 persen untuk tahun depan. Karena ini kan tujuannya untuk mengurangi backlog rumah," jelas Maurin di Jakarta, kemarin.

Maurin mengatakan pemerintah bisa saja mempertimbangkan permintaan pengembang untuk menaikkan harga rumah murah lebih tinggi dengan satu syarat, yaitu perusahaan harus membuka hitung-hitungan biaya rumah murah yang telah mereka bangun. Pasalnya selama ini pengembang enggan melaporkan nilai investasi dan keuntungan yang diperoleh kepada pemerintah.

"Di sini kan ada informasi yang asimetris. Kalau mereka mau menaikkan harga lebih dari apa yang kami atur, mereka juga harus mau membuka biaya mereka bangun rumah berapa atau untung mereka berapa. Jadi dengan basis itu kami bisa evaluasi lagi kenaikan harga rumah MBR yang tepat," tambahnya. Kendati demikian, ia juga mengatakan kalau banyak pengembang yang jujur mau memberitahu nilai margin hasil penjualan rumah MBR.

"Mereka bilangnya masih bisa dapat margin 15 hingga 20 persen. Kami juga maklum dengan margin segitu, karena bisnis properti kan high risk high return," jelas Maurin. Sebelumnya, Dewan Pengurus Pusat Realestat Indonesia (REI) menginginkan formulasi kenaikan harga properti ditambah angka inflasi demi menciptakan kepastian bagi masyarakat dan pelaku industri. Sehingga, keduanya bisa meprediksi perubahan eskalasi harga pada tahun-tahun mendatang mengikuti dengan kenaikan harga material bahan bangunan.

Pemerintah sendiri menargetkan untuk bisa menambah 6,7 juta unit rumah hingga empat tahun mendatang demi menuju angka backlog rumah sebesar 6,8 juta unit pada tahun 2019. Dengan kata lain, pembangunan 1,3 juta unit rumah per tahunnya menjadi kewajiban jika pemerintah ingin mencapai target itu. Sementara itu, target pembangunan rumah MBR pemerintah hingga akhir tahun sebesar 603.516 unit. Hingga saat ini, pemerintah baru bisa menyediakan 429.875 unit rumah MBR, atau 71,22 persen dari target. Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) menyambut baik perubahan acuan ambang batas pengenaan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) atas properti, dari luas bangunan menjadi harga jual. 

Namun, REI mengusulkan agar pemerintah membuat formulasi baku penyesuaian acuan harga jual properti setiap tahunnya agar memberikan kepastian bagi masyarakat dan pelaku industri. '"Sebaiknya ke depan ada aturan yang sudah dipastikan penyesuaian harga jual properti. Misalnya 10 persen plus inflasi," ujar Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) REI Eddy Hussy kepada CNN Indonesia, Selasa (1/12).

Dengan formulai tetap tersebut, kata Eddy, maka pengembang sudah bisa memprediksi perubahan eskalasi harga pada tahun-tahun mendatang mengikuti dengan kenaikan harga material bahan bangunan.  "Kami sudah sampaikan usulan itu ke Kementerian Keuangan, tapi menurut mereka akan dikaji oleh tim khusus. Mudah-mudahan bisa diakomodir," tuturnya.

Sebelumnya, pemerintah mengubah ambang batas pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) properti untuk golongan tarif 20 persen, dari yang sebelumnya mengacu pada luas bangunan menjadi harga jual. Untuk rumah mewah atau townhouse, yang tadinya mensyaratkan luas bangunan minimal 350 meter persegi diganti menjadi nilai harga jual minimal Rp 20 miliar.

Sementara untuk apartemen, kondominium, dan townhouse berstatus strata title, ketentuan luas bangunan minimal 150 meter persegi dihapuskan dan diganti dengan harga jual minimal Rp 10 miliar.  Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 206/PMK.010/2015 tentang Jenis Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Selain Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang terbit pada 20 November 2015.

"Itu cukup bagus karena kebijakannya menjadi agak sedikit longgar. Harga jual acuan yang ditentukan pemerintah kami harap itu harga di luar pajak atau hargacash keras," tutur Eddy. Direktur Utama PT Ekadi Trisakti Mas yang beroperasi di Batam ini melihat kinerja industri properti pada kuartal terakhir 2015 mengalami perbaikan dan relatif stabil jika dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya yang cenderung melemah.

"Namun kami melihat agak sulit untuk mencapai target pertumbuhan 10 persen pada tahun ini, kemungkinan di bawah itu. Mungkin industri properti hanya tumbuh sekitar 7-8 persen seperti proyeksi Bank Indonesia," jelas Eddy.  Berdasarkan segmentasi pasar, Eddy mengatakan penyokong utama pertumbuhan properti pada tahun ini adalah hunian tapak untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Hal ini, katanya, tak lepas dari dari program 1 juta rumah dan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang dicanangkan pemerintah.

"Tahun ini kami menargetkan membangun 230 ribu unit rumah untuk FLPP, demikian pula dengan tahun depan sekitar segitu," tuturnya.

No comments:

Post a Comment