Di Amerika Serikat (AS), pernah ada Kodak, tapi kini sudah mati. Juga ada WR Grace. Perusahaan ini berlokasi di Columbia, Maryland, AS, dengan bisnis utama bahan-bahan kimia. Semuanya juga berubah, mengikuti zaman. Di Jepang ada Mitsui. Kalau di Jerman, persisnya di Munich, mungkin Anda cukup familiar dengan nama Siemens. Adakah di Indonesia? Tentu ada. Hanya saja kebanyakan sudah terseok-seok dimakan usia. Misalnya, beberapa pabrik gula warisan Belanda.
Kalau Pertamina yang minggu lalu berulang tahun, baru merayakan usia ke 58. Meski belum seabad, lumayan menghibur karena ia sudah ada di Fortune 500 dan cukup sehat. Jadi, siapa yang sudah lebih dari 100 tahun dan masih sehat?
Sengaja tulisan iniditurunkan hari ini, karena hari ini ada perusahaan nasional yang merayakan usia ke-120, namun tetap gesit berinovasi. Bahkan bidang usahanya tak bergeser dari misi semula: microfinancing. Seorang ilmuwan Amerika pernah mengatakan, harusnya yang diganjar hadiah Nobel bukan Moh Yunus, melainkan mendiang Raden Aria Wirya Atmadja. Sebab itulah tonggak awal sejarah microfinance yang mengilhami Yunus.
Tonggak sejarah itu berawal pada tanggal 16 Desember 1895, saat Raden Aria Wirya Atmadja dan kawan-kawannya mendirikan “De Poerkertosche Hulp - en Spaarbank der Inlandsche Hoofden” (Bank penolong dan tabungan bagi priyayi Poerwokerto) disingkat menjadi “Bank Priyayi Poerwokerto”.
Bank Penolong
Itulah cikal bakal dan misi gerakan microfinancing Indonesia: menolong keuangan rakyat. Sedemikian powerful-nya menolong ekonomi rakyat di sekitar Purwokerto, sampai-sampai ia ditakuti Belanda karena dianggap mampu menggerakkan kekuatan untuk melawan kolonialisme. Wajar kalau dalam perjalanannya ia pernah diambil Belanda.
Tak heran kalau itu pulalah yang mengantarkan masa kecil presiden ke 44 Amerika Serikat, Barack Obama berkenalan dengan Indonesia. Ibunya, Ann Dunham datang ke Indonesia antara lain untuk meneliti tentang peranan microfinance dan bank penolong rakyat ini. Kini bank penolong yang didirikan Raden Arya Wiryaatmaja itu dikenal sebagai PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) .
Anda tentu bisa menyaksikannya dari dekat, karena dialah satu-satunya bank yang ada di hampir setiap desa di tanah air, bahkan mungkin ada di setiap pasar tradisional. Perusahaan ini masih sangat sehat bukan tanpa alasan. Lihat saja kinerjanya. Sepanjang 2014, BRI membukukan laba bersih Rp 24,2 triliun. Kalau salah satu ukuran kinerjanya adalah besarnya angka penyaluran kredit, tahun lalu kredit yang disalurkan BRI mencapai Rp 490,41 triilun.
Untuk tahun 2015, di tengah kinerja perekonomian nasional yang kurang menggembirakan, BRI masih menargetkan penyaluran kreditnya Rp503,6 triliun. Intinya, sampai kuartal III-2015, semuanya tumbuh menggembirakan. Pengakuan soal kinerja ini juga datang dari majalahThe Banker yang diterbitkan The Financial Times yang pada awal Desember 2015 memberikan penghargaan Bank of The Year 2015 Indonesia.
Di situ ada Pertamina dan BRI. Dan kepada audience, Asmawi Syam, Dirut BRI menyampaikan pertanyaannya kepada pihak pemberi award (The Financial Times) mengapa mereka memilih BRI. Inilah jawaban mereka:
- Pertama, ternyata belum ada di dunia ini bank yang menggunakan satelit selain BRI melalui BRISat.
- Kedua, The Financial Times mengaku belum pernah melihat ada bank yang mengapung di laut menjemput nasabah- nasabahnya. Dan itu hanya ada di bank ini yang mengembangkan konsep Teras Kapal.
- Ketiga, mereka belum pernah melihat ada bank yang berhasil menyalurkan kredit sebanyak 624.000 orang dalam tiga bulan. Birokrasi dipangkas, sistem dibangun, teknologi diperkuat, dan SDM diperbaiki sehingga bank bergerak lincah. Tertegun mendengarkannya. Apalagi tahun depan BRI akan meluncurkan Microfinance institute bekerjasama dengan salah satu institusi pendidikan di Amerika Serikat.
Jalannya lambat, terseok-seok. Kesannya, mati segan hidup tak mau. Setiap rapat manajemen, yang dibahas melulu bagaimana melakukan penghematan biaya atau pemangkasan anggaran. Bukan membahas bagaimana memperbesar pangsa pasar, cara masuk ke segmen-segmen baru, atau melahirkan produk-produk yang inovatif. BRI tidak begitu. Malah sebaliknya, semakin tua semakin lincah. Nah, supaya ini bisa menjadi pembelajaran, ada beberapa faktor yang peting.
- Pertama, jelas inovasi seperti dicontohkan di atas.
- Kedua, inovasi itu basisnya adalah pengembangan SDM. Meski nasabah BRI kebanyakan wong cilik, karyawan yang melayani adalah tenaga-tenaga berpendidikan. Mereka terus dilatih, dan sebagian di antaranya dikirimkan ke lembaga-lembaga pendidikan, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk melanjutkan pendidikannya.
- Ketiga, Innovation Centre. Anda tahu, inovasi atau ide-ide bisnis tak harus selalu datang dari lingkungan internal. Ia bisa datang dari lingkungan eksternal, atau sering disebut inovasi yang datang dari ekosistem bisnisnya.
Dengan cara seperti ini, produk atau jasa yang dikeluarkan BRI selalu nyambung dengan kebutuhan nasabahnya. Sebab, idenya memang datang langsung dari mereka. Keempat, teknologi. Anda tahu, BRI adalah bank pertama di dunia yang memiliki satelit. Dengan satelit ini, BRI bakal memiliki akses untuk melayani nasabah-nasabah yang berada di daerah-daerah terpencil. Ini akan membuat BRI semakin sulit disaingi oleh bank-bank lain.
Diharapkan ulasan tentang BRI ini bisa menjadi inspirasi bagi perusahaan-perusahaan nasional yang ingin usianya menembus 100 tahun, atau lebih. Sudah terlalu sering kita bahas perusahaan asing, kini saatnya menghargai kemampuan bangsa sendiri. Menurut perkiraan Arie de Geus dalam bukunya The Living Company, rata-rata harapan hidup perusahaan adalah dua sampai -tiga abad. Dan BRI, diyakini, bakal lebih.
No comments:
Post a Comment