Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memberikan kewenangan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk menaikkan tarif bea masuk jika importasi komoditas tertentu melonjak. Keputusan tersebut disepakati dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO ke-10 yang berlangsung di Nairobi, Kenya pada 15-19 Desember 2015.
Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan Internasional (KPI) Kementerian Perdagangan, Bachrul Chairi menjelaskan dalam Konferensi Tingkat Menteri WTO tahun ini, Indonesia sebagai koordinator kelompok negara berkembang (G-33) berperan penting dalam meloloskan kesepakatan mengenai mekanisme perlindungan khusus atau Special Safeguard Mechanism (SSM) dan penimbunan stok dalam rangka ketahanan pangan (public stock holding for security purposes).
Menurutnya, dengan lahirnya kesepakatan WTO tersebut, maka negara-negara berkembang punya kewenangan internasional untuk menaikkan tarif bea masuk jika terdapat lonjakan impor atas komoditas tertentu. "Yang tidak kalah penting adalah kesepakatan yang dicapai dalam Paket Nairobi sudah sejalan dengan posisi nasional Indonesia dalam rangka memperkuat sistem perdagangan multilateral di bawah koordinasi WTO," ujar Bachrul di Jakarta, Rabu (23/12).
Terdapat enam keputusan menteri dalam konferensi WTO kali ini (Paket Nairobi) yang terkait dengan sektor pertanian, antara lain menyangkut dengan kompetisi ekspor, special safeguard mechanism (SSM), public stock holding for security purposes (PSH) and cotton. Lalu disepakati pula mengenai fasilitas bagi negara-negara yang kurang berkembang (Least Development Countries), yang terdiri dari dua elemen berupa preferensi Rules of Origin (ROO) dan preferensi sektor jasa.
Bachrul menilai keputusan para menteri WTO ini merupakan pencapaian terbesar dalam 20 tahun terakhir. Perundingan pertanian adalah pengurangan dan penghapusan subsidi ekspor pertanian. Menurutnya, selama ini negara-negara anggota WTO khususnya negara berkembang dan kurang berkembang gencar menuntut penghapusan subsidi ekspor pertanian di negara maju karena ditengarai mendistorsi pasar pertanian global. Kebijakan itu dinilai memberikan dampak negatif bagi produk negara berkembang dan kurang berkembang.
“Apa yang dibahas dan disepakati oleh anggota WTO di Nairobi merupakan bukti bahwa semua anggota dapat memberikan fleksibilitas dan komitmen untuk mencapai hasil bersama. Yang akan dinikmati semua penduduk dunia, baik pengusaha, petani konsumen dan pemerintah,” tuturnya.
Para menteri WTO dalam forum internasional itu mendesak negara maju untuk segera menghapus berbagai bentuk subsidi ekspor yang diberikan kepada petani. Sementara negara berkembang masih diberikan waktu hingga 2018 dan 2023 untuk komponen subsidi promosi dan transportasi. Sedangkan untuk negara-negara yang kurang berkembang (LDCs) diberikan kerangka waktu yang lebih lama
No comments:
Post a Comment