Artinya, sambung dia, setelah lahan yang tersedia habis maka para pengembang harus kembali membeli lahan. Hal itu tentu bukan perkara mudah untuk dilakukan mengingat harga tanah tentunya akan terus mengalami kenaikan. Bila tidak dikendalikan pemerintah, harga tanah bisa melambung tinggi.
Hal ini tentu akan menjadi hambatan besar bagi program penyediaan rumah, karena berdasarkan peraturan yang berlaku saat ini, kenaikan harga rumah murah yang disubisi pemerintah lewat skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) hanya diperkenankan maksimal 5% per tahun. Sedangkan tanpa pengendalian, harga tanah bisa naik 15-20%. "Akhirnya hal ini akan berdampak terhadap mahalnya harga rumah meninggalkan batasan harga FLPP yang ada sebesar 5% per tahun. Bila terjadi maka Program Sejuta Rumah hanya tinggal kenangan saja," tuturnya.
Untuk itu, ia mengaharapkan Pemerintah segera menseriusi penyediaan regulasi yang bisa menjamin ketersediaan cadangan lahan dalam jangka panjang dengan harga yang terjangkau dan stabil. Sehingga program sejuta rumah bisa tetap berjalan dan potensi berhenti di tengah jalan bisa dihindari.
"Program Sejuta Rumah dengan berbagai kendala harus dipertahankan, namun pemerintah harus segera melakukan langkah antisipatif terkait sustainability (keberlanjutan) program ini, jangan sampai berhenti di tengah jalan," tegasnya. Indonesia Property Watch (IPW) mencatat secara tahunan atau year on year (YOY), penjualan hunian pada segmen bawah dengan harga di bawah Rp 500 juta tumbuh pesat. Rumah untuk segmen ini mengalami kenaikan tinggi hingga 56,7%.
Direktur Eksekutif IPW Ali Tranghanda mengatakan, kondisi ini tak lepas dari dukungan pemerintah yang memberikan stimulus bagi kelompok masyarakat yang menjadi konsumen properti di segmen menengah bawah. Stimulus tersebut diberikan dalam bentuk pelonggaran aturan loan to value (LTV) sebesar 10% oleh Bank Indonesia pada pertengahan 2015. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) pertama dengan uang muka yang semula ditetapkan 30%, saat ini telah turun menjadi 20%. Artinya LTV-nya berubah dari 70% menjadi 80%.
"Pasar perumahan yang harganya di bawah Rp 500 juta masih terus bergairah. Apa lagi pemerintah banyak memberikan kelonggaran dalam hal kebijakan pembiayaan, pajak dan lainnya. Pertumbuhannya sekitar 56,7% secara YoY," jelas Ali dalam paparannya pada acara Mandiri Property Outlook, di Shangrila, Jakarta, Senin (8/12/2015). Kondisi ini berbanding terbalik dengan penjualan hunian di segmen atas yang justru mengalami perlambatan. Penyebabnya karena pemerintah mengenakan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPn BM) untuk rumah dan apartemen segmen atas di atas Rp 10 miliar.
"Penjualan di segmen menengah dengan harga Rp 500 juta-Rp 1,5 miliar dan segmen atas dengan harga minimal Rp 1,5 miliar masih anjlok. Masing-masing mengalami penurunan 36,9% (YoY) dan 31,8% (YoY) sehingga secara rata-rata masih terjadi pelandaian 19,4% secara tahunan (YoY)," jelas Ali. Ia mengatakan, penundaan pembelian pun masih mewarnai pasar perumahan dan properti yang ada di segmen menengah dan atas. Menurut Ali, penundaan ini lebih disebebkan oleh kekhawatiran psikologis meskipun secara daya beli tidak mengalami penurunan signifikan. Kekhawatiran konsumen ini wajar karena secara makro ekonomi tanah air beberapa waktu belakangan mengalami perlambatan.
"Mereka (konsumen menegah atas) lebih memilih menyelamatkan kebutuhan sehari-hari termasuk sandang dan pangan dibandingkan papan meskipun daya beli saat ini relatif tidak tergerus," jelasnya.
Sebagai catatan, nilai transaksi penjualan rumah triwulan III/2015 (Jabodetabek) diperkirakan mencapai Rp 1,041 triliun dengan distribusi hampir terbagi rata di semua segmen. Berdasarkan riset, komposisi penjualan hunian pada kuartal III/2015 di segmen bawah berkontribusi sebesar 34%, menengah sebesar 44%, dan segmen atas sebesar 22%.
No comments:
Post a Comment