The Federal Reserve atau Bank Sentral Amerika Serikat yang bisa disebut The Fed akhirnya menaikan suku bunga dari 0%-0,25% menjadi 0,25%-0,50%, Rabu (16/12) waktu Washington DC, atau Kamis dini hari waktu Indonesia, yang disampaikan langsung oleh Gubernur The Fed Janet Louise Yellen.
Kenaikan suku bunga ini relatif kecil, namun berdampak pada jutaan orang Amerika, investor, pembeli rumah dan properti serta pemilik akun tabungan. Nasabah akan lebih menaruh perhatian atas deposit uang mereka di bank-bank karena tingkat cicilan yang semakin membesar. Pergerakan ini telah diprediksi. Kenaikan suku bunga, dianggap pertanda jika perekonomian telah pulih dari Resesi Besar di 2008 silam. Bank central Amerika Serikat percaya, ekonomi dalam negeri akan semakin menguat dan tidak lagi memerlukan subsidi.
The Fed memberlakukan suku bunga mendekati nol persen selama krisis di Desember 2008 untuk membantu menstimulasi ekonomi dan mendorong pembenahan pasar perumahan yang sempat runtuh. Namun, ekonomi saat ini krisis telah berlalu. Faktanya perekonomian lebih sehat. — pengangguran saat ini di angka 5 persen, setengah dari jumlah pengangguran yang ada di 2009, yang menjadi krisis pekerjaan paling buruk.
Sejak itu hingga sekarang telah tumbuh lebih dari 12 juta pekerjaan baru. Pergerakan positif ini terus berkembang semenjak pemulihan. “Liftoff” suku bunga The FED telah memprediksi kemungkinan kenaikan itu di 2016. Penaikan suku bunga terakhir adalah Juni 2006, yang menjadi titik kulminasi dari bentuk sebuah serial penaikan suku bunga dalam dua tahun pertama sejak krisis. Investor akan menaruh perhatian lebih atas apa yang telah diputuskan oleh The Fed hari ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat signifikan di tengah kenaikan bursa saham global hari ini dan mengalir masuknya dana investor asing. Indeks naik sebesar 74 poin (1,68 persen) ke level 4.483 setelah bergerak di antara 4.429-4.483 pada Rabu (16/12). Analis Asjaya Indosurya Securities William Surya Wijaya mengatakan IHSG kembali merangsek naik seiring hawa segar dari pasar global. Hal itu membuat aliran dana asing kembali masuk.
“Pergerakan IHSG menjelang penghujung tahun menunjukkan tanda-tanda rally, serta diwarnai oleh semarak pesta menjelang libur dimana agenda rilis data ekonomi juga akan turut mendorong pergerakan naik indeks,” ujarnya dalam ulasan. Kendati demikian, menurutnya kewaspadaan tetap perlu di perhatikan. Sebab harga komoditas minyak masih belum pulih, serta nilai tukar rupiah yang masih berkutat di area pelemahan.
Sementara itu, di pasar valuta asing, nilai tukar rupiah terkoreksi sebesar 24 poin (0,17 persen) ke Rp 14.070 per dolar Amerika, setelah bergerak di kisaran Rp 14.023-Rp 14.098 per dolar. Hari ini, investor membukukan transaksi sebesar Rp 5,43 triliun, terdiri dari transaksi reguler Rp 3,65 triliun dan transaksi negosiasi Rp 1,78 triliun. Di pasar reguler, investor asing membukukan transaksi beli bersih (net buy) sebesar Rp 158,73 miliar.
Sebanyak delapan indeks sektoral menguat, dipimpin oleh sektor keuangan yang naik 2,75 persen dan sektor infrastruktur yang naik 2,37 persen. Sebanyak 191 saham naik, 82 saham turun, 69 saham tidak bergerak, dan 220 saham tidak ditransaksikan. Saham di sektor keuangan yang paling menguat adalah PT Bank Yudha Bhakti Tbk (BBYB, Rp 299) yang naik 7,55 persen dan PT Indomobil Multi Jasa Tbk (IMJS, Rp 500) yang naik 6,38 persen. Di sektor infrastruktur, saham yang paling terapresiasi adalah PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS, Rp 2.515, SELL, TP Rp 3.400) sebesar 4,57 persen dan PT Bukaka Teknik Utama Tbk (BUKK, Rp 710) sebesar 4,41 persen.
Dari Asia, mayoritas indeks saham menguat. Kondisi itu ditunjukkan oleh indeks Nikkei225 di Jepang yang naik sebesar 2,61 persen, indeks Kospi di Korsel yang menguat sebesar 1,88 persen, dan indeks Hang Seng di Hong Kong yang terapresiasi sebesar 2,01 persen. Sore ini, mayoritas indeks saham di Eropa juga menguat sejak dibuka tadi siang. Indeks FTSE100 di Inggris naik 0,35 persen dan DAX di Jerman yang menguat 0,01 persen, dan CAC di Perancis yang terapresiasi 0,06 persen.
Setelah delapan tahun mengalami resesi, Amerika mulai menjajaki pelonggaran kebijakan moneternya. The Federal Reserve alias The Fed telah memulai rapat Federal Open Market Committee (FOMC) sejak 15 Desember dan dijadwalkan akan mengumumkan besaran suku bunga pada 16 Desember 2015 pukul 14.00 waktu setempat atau Kamis (17/12) pagi pukul 02.00 WIB.
Gubernur The Fed Janet Louise Yellen dijadwalkan akan memberikan keterangan pers, yang menurut analisa pelaku pasar berpotensi mengumumkan penaikan sebesar 25 basis poin. Sehingga suku bunga The Fed naik menjadi 0,25 sampai 0,50 persen dari posisi sebelumnya 0-0,25 persen. Mantan Kepala Ekonom Bank Dunia Larry Summers kepada Reuters menyatakan, pasar bakal merespons positif jika The Fed jadi menaikkan suku bunganya. Ia meyakini indeks saham negeri Barrack Obama akan naik sekitar 1 persen, dan obligasi juga akan terkerek naik.
"Mengingat kekuatan sinyal yang dikirim (oleh the Fed), tentu akan menghancurkan kredibilitas mereka jika hal ini batal dilaksanakan," kata Summers seperti dikutip dari Reuters, Rabu (16/12). Keputusan untuk menaikkan suku bunga menurut Summers akan memisahkan the Fed dari bank sentral utama di Tokyo, Frankfurt, Beijing dan bank sentral negara lain yang juga tengah berjuang untuk merangsang ekonomi dan menghasilkan pertumbuhan bagi negaranya.
Josh Bivens, Direktur Riset Institut Kebijakan Ekonomi Amerika menilai The Fed bisa dibilang sukses dalam membuat kebijakan apabila kenaikan suku bunga diikuti dengan pertumbuhan ekonomi Amerika, menurunnya tingkat pengangguran, dan pertumbuhan inflasi. "Tidak ada alasan untuk berpikir bahwa laju pertumbuhan ekonomi saat ini berlebihan dan perlu diperlambat karena inflasi baru saja terjadi," kata Bivens.
"Saat ini, pengangguran yang lebih rendah yang mendorong pertumbuhan upah dan harga akan menjadi hal yang baik afirmatif. Upah dan harga yang jelas tumbuh terlalu lambat," tambahnya.
No comments:
Post a Comment