Wednesday, December 16, 2015

Pricewaterhouse Coopers : Sistem Perbankan Rapuh Sebabkan Pemulihan Ekonomi Gagal

Centre for the Study of Financial Innovation (CSFI) dan Pricewaterhouse Coopers (PwC) merekam kekhawatiran bankir yang meningkat di dunia terkait rapuhnya sistem perbankan global.  Berdasarkan hasil survei "Banking Banana Skins 2015" yang dilakukan kedua entitas tersebut, lebih dari 670 bankir, pembuat kebijakan perbankan dan pengamat industri perbankan di 52 negara mewaspadai kemungkinan gagalnya upaya pemulihan ekonomi dan rusaknya sistem perbankan terkait hal itu.

“Hasil ini menunjukkan bahwa banyak orang yang was-was pemulihan ekonomi akan gagal dan menimbulkan kerusakan yang serius atas sistem perbankan. Ini merupakan prospek yang mengkhawatirkan,” ujar David Lascelles, redaktur survei Banking Banana Skins 2015 melalui keterangan pers PwC, Rabu (16/12).

Terdapat 24 indikator yang menjadi penilaian para bankir dalam survei ini, antara lain iklim makro ekonomi, kriminalitas, peraturan risiko teknologi, campur tangan politikkualitas manajemen risiko, risiko kredit, pelaksanaan praktik, dan penentuan harga risiko. Faktor lain yang juga menjadi perhatian adalah model bisnis, media sosial reputasi, ketersediaan modal, tingkat bunga, negara berkembang, shadow banking, mata uang, likuiditas, tata kelola perusahaan, insentif manajemen derivatif, sumber daya manusia ketergantungan terhadap pihak ketiga dan keberlanjutan.

Sesuai dengan urutannya, iklim makro ekonomi menjadi kekhawatiran paling dominan para pelaku perbankan global. Kekhawatiran tentang risiko ekonomi digerakkan oleh tingginya peringkat utang yang terjadi di sebagian besar belahan dunia, perlambatan ekonomi negara berkembang, serta ketidakpastian tingkat bunga.

Seluruh faktor ini dinilai dapat berdampak buruk pada sistem perbankan, di mana tingkat solvabilitas perbankan meskipun kondisinya semakin baik, masih berada pada tingkat yang mengkhawatirkan. Mengutip pernyataan supervisor senior perbankan, PwC menyimpulkan tingginya tingkat utang memperparah kerapuhan sistem keuangan. Meskipun pembuat kebijakan dan perbankan telah mencetak kemajuan dalam mengurangi pengaruh tingkat utang di sektor perbankan, tetapi pengaruhnya masih terbilang tinggi. Intinya, semakin naiknya tingkat utang debitur membuat bank rentan terhadap kejutan ekonomi.

Kejahatan perbankan dalam survei Banking Banana Skins 2015 juga mengemuka, menyusul meningkatnya kejahatan siber di sektor keuangan. Kriminalitas kekhawatiran nomor dua teratas bagi para bankir, yang peringkatnya naik dari posisi tahun lalu di urutan ke sembilan.  Kemampuan bank untuk mengelola pertumbuhan kejahatan siber juga dipertanyakan. Hal ini terkait dengan kualitas teknologi dan sistem manajemen risiko perbankan.

Kekhawatiran lain yang juga semakin besar adalah soal praktik bisnis bank. Pasalnya, terdapat persepsi bahwa bank gagal untuk melaksanakan perubahan kebudayaan dalam pengelolaan praktik bisnis meskipun peraturan telah memberi tekanan yang berat berupa pemberlakuan denda yang tinggi. Indikator berikutnya yang menyita perhatian bankir adalah perlambatan ekonomi di negara berkembang. Prospek ekonomi China dan kejatuhan harga komoditas menjadi faktor serius bagi ekonomi negara-negara yang memiliki ketergantungan satu sama lain.

“Meskipun bank dan pembuat kebijakan telah melakukan banyak hal untuk memperkuat pengendalian risiko, bank masih harus melakukan banyak hal lain untuk menangani skala risiko tersebut dan karakteristik yang terus berubah," jelas Global Financial Services Risk Leader PwC, Dominic Nixon.  Menurutnya, survei ini menunjukkan konsensus global yang cukup kuat bahwa ancaman utama bagi keamanan perbankan datang dari aspek-aspek seperti kriminalitas, yang naik peringkat secara dramatis, risiko teknologi, dan pelaksanaan praktik.

Mayoritas bankir di Indonesia, Malaysia, Hong Kong dan Singapura memiliki tingkat kegelisahan yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata pelaku perbankan dunia.  Berdasarkan hasil survei "Banking Banana Skins 2015" yang dilakukan oleh Centre for the Study of Financial Innovation (CSFI) dan Pricewaterhouse Coopers (PwC), tingkat kecemasan responden Indonesia terhadap kemungkinan gagalnya pemulihan terkait dengan rapuhnya sistem perbankan cukup tinggi.

Dari 24 indikator penilaian, iklim makro ekonomi menjadi perhatian terbesar para bankir di Indonesia. Perhatian terbesar berikutnya adalah nilai tukar mata uang, tingkat suku bunga, risiko kredit dan pelaksanaan praktik perbankan.  “Jika situasi Forex (nilai tukar) semakin memburuk, pemulihan makro ekonomi yang tertunda dapat mengakibatkan krisis likuiditas," ujar seorang bankir yang disurvei oleh CSFI dan PwC, seperti dikutip dari siaran pers, Rabu (16/12).

David Wake, PwC Indonesia Financial Services, mengatakan bank-bank di Indonesia telah menikmati tingkat margin yang tinggi selama beberapa waktu, yang berdampak positif terhadap profitabilitas. Namun, tingkat margin turun di saat kekhawatiran meningkat terhadap makro ekonomi dan risiko kredit.

“Turunnya margin, meningkatnya NPL (kredit macet) dan biaya, kekhawatiran terhadap kondisi makro ekonomi, dan risiko mata uang, merupakan kombinasi yang berbahaya. Bank-bank yang belum mengambil langkah untuk menyederhanakan operasional dan meningkatkan efisiensi akan menemukan hasil yang tak diinginkan pada akhirnya,” ujar Wake.  Indikator lain yang juga menjadi perhatian serius bankir Indonesia adalah tingkat kriminalitas dan risiko teknologi perbankan. Semua indikator tersebut mencerminkan intensitas relatif kekhawatiran ekonomi di Indonesia, terutama menyangkut kejahatan siber.

Responden di Indonesia mengkritik sistem yang terlalu besar dan kuno dan mengingatkan tentang isu keamanan terkait perbankan digital dan karyawan atau penyedia jasa nakal yang didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau sistem insentif yang berisiko," jelas Wake.

David Wake menambahkan, perbankan Indonesia selama beberapa tahun terakhir menikmati ekonomi nasional yang kuat, menyusul perolehan margin yang cukup baik. Selain itu, pertumbuhan usaha yang solid serta tingkat kredit bermasalah (non per forming loan/NPL) yang relatif rendah menjadi cermin kinerja perbankan nasional selam aini.  "Dengan melambatnya pertumbuhan, NPL dan kekhawatiran tentang iklim makro ekonomi meningkat, kita akan melihat tingkat kesiapan di Indonesia melalui ujian yang berat dalam beberapa tahun mendatang," kata Wake

No comments:

Post a Comment