Seperti diketahui, Unilever Indonesia telah mengerek harga jual produknya hingga tiga kali sampai Oktober lalu. Tercatat, sepanjang periode tersebut harga jual produk Unilever meningkat sampai 3,8 persen guna mempertahankan margin perseroan.
Dalam laporan keuangan Unilever per September 2015, margin usaha turun dari 21,02 persen menjadi 20,51 persen, sedangkan margin bersih terpangkas dari 15,51 persen ke level 15,18 persen. Sementara hanya margin kotor yang mengalami perbaikan setelah meningkat dari 48,79 persen ke posisi 50,69 persen. Sancoyo menambahkan, manajemen juga melihat berbagai efek dari kebijakan ekonomi global, salah satunya adalah rapat petinggi bank sentral AS (FOMC) dalam minggu ini. Kendati demikian, ia mengaku perseroan tetap menilai keadaan bakal positif dalam jangka panjang.
“Kami melihat rapat FOMC sebentar lagi akan ada pengaruhnya. Tapi kami selalu melihat kondisi dalam jangka panjang. Dan kami selalu fokus ke konsumen, bagaimana produk kami bisa menyasar lebih banyak konsumen,” jelasnya.
Ia menjelaskan, Unilever telah berada di Indonesia sejak lama dan masih tetap bertahan hingga kini. Hal itu menjelaskan bahwa perusahaan selalu melihat kondisi untuk jangka panjang, apalagi kini Indonesia menghadapi bonus demografi pada 2020. “Kami telah berada di Indonesia selama 82 tahun. Kami bukan pemain hit and run, tapi jangka panjang. Dinamika ini biasa dialami oleh perusahaan dan negara. Mid and long term masih sangat bullish, seperti jumlah penduduk yang muda, bonus demografi dan potensi tingkat konsumsi,” ujarnya.
Dari sisi kinerja, Unilever Indonesia mencatat pertumbuhan laba bersih sebesar 3,21 persen pada sembilan bulan pertama 2015 menjadi Rp 4,18 triliun dari Rp 4,05 triliun pada periode yang sama 2014. Pertumbuhan kinerja Unilever tersebut ditopang dengan peningkatan penjualan pada sembilan bulan pertama 2015 sebesar 5,60 persen menjadi Rp 27,55 triliun dari capaian di periode yang sama 2014 senilai Rp 26,09 triliun. Perusahaan barang konsumsi nasional, PT Unilever Indonesia resmi mengoperasikan pabrik baru produk kecap Bango dan Royco di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Pabrik senilai Rp 820 miliar ini memiliki kapasitas produksi sebesar 330 ribu ton per tahun atau 7 miliar bungkus untuk kedua jenis produk tersebut.
Sekretaris Perusahaan Unilever Indonesia, Sancoyo Antarikso mengatakan pada awalnya nilai investasi pabrik ini hanya sebesar Rp 500 miliar ketika pembangunan dimulai pada 2013. Pelemahan rupiah dan juga penambahan ekspansi produksi dari angka awal disinyalir menyebabkan modal yang harus dikeluarkan perusahaan membengkak.
"Pada awalnya, kita mengajukan ke BKPM sebesar Rp 500 miliar, namun setelah adanya pelemahan rupiah antar waktu dan juga penambahan kapasitas produksi dari angka awal rencana kita, maka spending kami naik menjadi Rp 820 miliar," jelas Sancoyo di Cikarang, Selasa. (25/8).
Sancoyo menambahkan, sentimen pelemahan kurs berpengaruh karena masih terdapat beberapa komponen pabrik yang pengadaannya menggunakan mata uang Dollar AS, terutama untuk mesin-mesin pengemas kecap. Sayangnya, ia tak ingat berapa proporsi komponen impor di dalam pembangunan pabrik baru ini. "Untuk mesin-mesin, contohnya mesin pouch, kita masih impor. Namun untuk mesin sachet itu sudah menggunakan vendor Indonesia yang diproduksi di Tangerang, Banten," tuturnya.
Kendati nilai investasi lebih besar dari angka awalnya, namun Sancoyo yakin investasi ini akan membawa dampak baik pada jangka panjang mengingat permintaan domestik akan kedua produk tersebut, khususnya kecap, memiliki prospek yang baik. Kenaikan permintaan tersebut, lanjut Sancoyo, tercermin dari peningkatan nilai produksi kecap dari tahun ke tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi kenaikan produksi kecap sebesar 10,06 persen, dari Rp 6,46 triliun pada 2013 ke angka Rp 7,11 triliun pada tahun berikutnya.
Sementara itu, nilai produksi bumbu penyedap menurun dari Rp 8,64 triliun pada 2013 menjadi Rp 7,27 triliun pada 2014. Kendati tengah menurun, tetapi Unilever tetap optimistis permintaan bumbu dapur akan meningkat ke depannya. "Kita pemain jangka panjang, bukan hit and run. Jadi kita lihat kondisi jangka panjangnya, selama Indonesia pasarnya baik kita akan terus berinvestasi," jelasnya.
Dengan kapasitas sebesar 330 ribu ton per tahun, atau setara tujuh miliar bungkus per tahun untuk total produksi Bango dan Royco, Sancoyo yakini pabrik baru ini bisa memenuhi permintaan sampai dua hingga tiga tahun mendatang. Bahkan tak menutup kemungkinan akan diekspor beberapa waktu ke depan dengan Asia Tenggara sebagai pasar utamanya" "Kita akan melakukan ekspor ke negara-negara yang memiliki populasi warga Indonesia yang cukup banyak seperti Malaysia, Singapura, Australia, bahkan Belanda. Namun tentu hal itu akan kita lakukan kalau sudah memenuhi permintaan dalam negeri," ujarnya.
Sebagai informasi, pabrik baru Royco dan Bango ini merupakan pabrik ke-9 Unilever dan berdiri di atas lahan seluas 6,3 hektar dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 600 pegawai. Investasi pabrik sebesar Rp 820 miliar itu merupakan bagian dari investasi senilai Rp 8,5 triliun yang digelontorkan perusahaan sejak 2010.
Sebagai informasi, pabrik baru Royco dan Bango ini merupakan pabrik ke-9 Unilever dan berdiri di atas lahan seluas 6,3 hektar dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 600 pegawai. Investasi pabrik sebesar Rp 820 miliar itu merupakan bagian dari investasi senilai Rp 8,5 triliun yang digelontorkan perusahaan sejak 2010.
No comments:
Post a Comment