Friday, December 11, 2015

Indeks Saham Terkapar, Window Dressing Tidak Mampu Memperkuat IHSG

Sejumlah manajer investasi menilai tahun ini merupakan masa yang berat bagi kinerja portofolio saham. Rencana aksi borong saham untuk memoles portofolio atau yang dikenal window dressing pun diakui hanya sebagai manuver untuk bisa lebih baik dari indeks acuan yang sepanjang tahun minus, bukan untuk tumbuh positif.

Head of Investment & Research PT Mega Asset Management, Manuel Maelaki mengatakan sepanjang tahun ini indeks acuan reksadana berbanding terbalik dari capaian pada 2014. Berangkat dari hal itu, katanya mustahil jika portofolio reksadana saham bisa positif pada tahun ini. “Tahun lalu indeks reksadana tumbuh 27 persen. Tahun ini melempem, sejak awal tahun saja indeks resadana saham sudah minus 18 persen,” ujarnya saat dihubungi.

Asal tahu saja, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang menjadi tolok ukur kinerja seluruh saham di Indonesia saja tercatat amblas 14,59 hingga Selasa lalu. Hal itu pun turut membuat pekerjaan para manajer investasi pada tahun ini terbilang berat. “Kita yang penting bisa lebih baik dari indeks reksadana. Kalau indeks reksadana minus sampai 18 persen, kita targetkan minusnya di sekitar 14 persen,” ungkap Manuel. Untuk mencapai hal tersebut, Manuel mengaku pihaknya akan melakukan window dressing secara bertahap. Ia mengaku masih melihat kondisi pasar dan momentum yang tepat untup memoles portofolionya.

“Kayaknya sebagian pelaku akan coba melakukan itu (window dressing) karena kita lihat volume makin tipis, dan satu dua minggu lagi kita masuk ke musim liburan. Mudah mudahan lebih bisa punya timing,” jelasnya. Seiring dengan adanya rencana perusahaan, Manuel bilang dengan dana kelolaan atau asset under management (AUM) mencapai Rp 1,4 triliun tersebut pihaknya menilai window dressing kali ini butuh tenaga yang lebih. Namun, ia yakin IHSG bakal menguat di penghujung tahun meski masih melemah jika dihitung dalam sepanjang tahun.

“Window dressing yang sekarang memang effort-nya lebih berat. Kami masih tetap menunggu Fed fund rate. IHSG kami targetkan bisa ke level 4.748 sampai akhir tahun ini,” jelasnya. Sedangkan Head of Investment BNI Asset Management Hanif Mantiq menyatakan pihaknya juga masih menyiapkan waktu yang tepat untuk melakukan window dressing. Ia mengaku pihaknya bakal memaksimalkan masa perdagangan sebelum libur. “Habis Fed rate (window dressing). Biasanya para investor akan masuk sebelum tanggal 20 Desember, karena setelah itu sudah banyak libur,” jelasnya.

Hanif mengakui IHSG masih bisa terdongkrak dengan adanya manuver memoles portofolio saham tersebut. Ia menilai perbaikan kondisi makro terkait inflasi juga bakal jadi pendorong indeks. “Saya lihat ada perbaikan di akhir tahun. Kami sih menilai IHSG bisa ditutup di level 4.800 untuk tahun ini,” ujarnya. Di sisi lain, Hanif menambahkan pihaknya tidak muluk-muluk untuk memperbaiki portofolio reksadana saham yang masih minus sejak awal tahun ini. Perusahaan dengan dana kelolaan mencapai Rp 12,6 triliun ini bakal menurunkan pelemahan portofolio untuk mengungguli pelemahan indeks acuan.

“Kita harap penurunannya bisa turun ke level 10 sampai 12 persen. Untuk produk Inspiring Equity Fund (reksadana saham) bisa ke minus 10 persen, dari indeks acuan reksadana saham yang minus 18 persen,” jelasnya. Manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI) mengungkapkan secara musiman tren kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selalu mengalami penguatan menyusul munculnya sejumlah sentimen positif yang kerap terjadi di akhir tahun. Otoritas pasar modal Indonesia itu meyakini, pada akhir 2015 ini bakal terdapat beberapa sentimen penggerak yang ditunggu pelaku pasar.

“Istilah window dressing (aksi poles saham di akhir tahun) buat saya (BEI) enggak ada. Tapi secaraseasonal, tiap akhir tahun memang ada peningkatan,” jelas Direktur Utama BEI Tito Sulistio di Jakarta, Kamis (10/12). Menyusul adanya sentimen positif di akhir tahun Tito mengaku masih terus memantau berbagai kondisi ekonomi baik dari sisi makro maupun mikro. Di mana sentimen tersebut direpresentasikan melalui detil laporan kinerja emiten yang mulai menunjukkan peningkatan, dan besaran realisasi belanja anggaran pemerintah sampai dengan kuartal III 2015 kemarin.

“Saya terus terang, di akhir tahun ini menunggu beberapa hal. Minggu ini saya dapat detil hasil kuartal III dari semua perusahaan dan sepertinya 75 persen masih untung. Kedua, spendingpemerintah berapa sih? Bisa tidak di atas 85 persen? Ketiga, tanda-tanda suku bunga oleh bank sentral, kalau bisa turun bagus banget,” jelasnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan , dalam lima tahun terakhir tren kinerja IHSG bergerak ke arah positif di bulan Desember. Umumnya, penguatan IHSG di akhir tahun terjadi meski sebelumnya terdapat pelemahan di awal sepanjang tahun seperti yang terjadi pada 2013.

BEI mencatat, pada 2010 silam IHSG mampu tumbuh 46,13 persen dalam setahun, di mana indeks menguat sebesar 4,88 persen sepanjang Desember. Sedangkan di 2011, indeks tercatat menguat 3,20 persen dan di Desember terjadi penguatan 2,88 persen.  Begitu pun dengan 2012 di mana IHSG menguat 12,94 persen. Meski IHSG sempat melemah -0,98 persen sepanjang 2013, namun pada 2014 IHSG kembali menanjak hingga 22,29 persen dan Desember tercatat peningkatan sebesar 1,50 persen.

Sebelumnya, Analis Investa Saran Mandiri Hans Kwee mengatakan fenomena window dressing berpeluang terjadi setelah adanya kepastian Fed fund rate. Menurut Hans, jika sudah terdapat kepastian penaikan, bakal terdapat syok di pasar modal, yang kemudian berlanjut penguatan. “Window dressing masih ada peluang bisa terjadi, after fed fund rate. Kemungkinan bisa reli, tapi pasar akan syok dulu,” jelasnya saat dihubungi.

Sementara untuk sentimen dari dalam negeri, Hans menilai level suku bunga acuan dalam negeri (BI rate) bakal menjadi penggerak pasar meski diperkirakan tetap. Selain itu, posisi neraca perdagangan juga bakal jadi sentimen pasar. Namun hingga Selasa lalu, kinerja IHSG sejak awal tahun masih amblas 14,59 persen. “Sentimen domestik masih BI rate setelah Fed rate. Tapi BI rate kemungkinan masih tetap. Neraca dagang juga jadi sentimen, tapi kemungkinan masih terkendali karena impor melemah terkait daya beli,” jelasnya.

No comments:

Post a Comment