Kementerian Perhubungan sempat membuat kehebohan dengan mengeluarkan aturan yang melarang operasional transportasi berbasis aplikasi seperti Go-Jek, GrabBike, Uber dan lain-lain. Pelarangan kemudian dicabut dalam hitungan jam setelah muncul protes keras dari banyak kalangan. Penggiat smart city Suhono Supangkat berpendapat, protes mengalir deras hingga membuat larangan akhirnya dicabut, memperlihatkan besarnya kebutuhan akan kemudahan melalui pemanfaatan teknologi.
"Keputusan berubah cepat barangkali melihat karena masa ini besar. Konsep smart city itu sending understanding and acting dengan cepat, atau observasi orientasi, keputusan dan tindakan dengan iterasi yang cukup cepat," kata salah satu Guru Besar Institut Teknologi Bandung ini Di sisi lain, cepat berubahnya keputusan ini secara bersamaan juga mengundang pertanyaan baginya. "Apakah tidak ada kajian yang cukup menyeluruh tentang ini? Sehingga dalam orde hari bisa berubah?" ujarnya heran.
Sebagai orang yang aktif mempromosikan smart city, dikatakannya layanan transportasi berbasis aplikasi adalah salah satu contoh pemanfaatan teknologi yang memberikan nilai lebih bagi masyarakat. "Teknologi telah memungkinkan terjadinya efisiensi dan crowdsourcing sehingga menjadi efisien dan tepat sasaran. Tujuannya warga harus mendapat kenyamanan, keamanan dan bisa tumbuh sejahtera," jelasnya.
Menurut Suhono, sebuah kota cerdas antara lain terlihat dari transportasi atau fasilitas pemerintah yang memadai untuk menampung kebutuhan warganya. "Pokoknya intinya masyarakat harus dapat pelayanan yang mudah, aman dan nyaman ya. Teknologi, tata kelola dan manusia saling melengkapi untuk solusi ini," simpulnya. Kehebohan netizen mengenai aturan pelarangan Go-Jek dan layanan transportasi berbasis aplikasi lainnya langsung ditanggapi oleh Presiden Joko Widodo.
"Saya segera panggil Menhub. Ojek dibutuhkan rakyat. Jangan karena aturan rakyat jadi susah. Harusnya ditata -Jkw," singkat Presiden melalui akun Twitter pribadinya @jokowi.
Respons Presiden ini menyusul pernyataan Kementerian Perhubungan soal aturan layanan transportasi berbasis aplikasi. Menteri Perhubungan Ignasius Jonan menegaskan, jika aplikasi online berbasis transportasi mau kembali beroperasi seperti sediakala, ada syarat yang harus dipenuhi. "Aplikasi online itu sistem reservasi, silakan saja. Namun sarana transportasinya (kendaraannya) harus memiliki izin sebagai kendaraan transportasi umum (pelat kuning) dan di kir. Silakan mengajukan ke dinas perhubungan setempat," ujar Jonan.
Kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Perhubungan memang bikin geger. Dikeluarkannya aturan mengenai Go-Jek cs tak hanya memancing protes tetapi juga pertanyaan besar masyarakat. Pasalnya, sikap Menteri Perhubungan Ignasius Jonan berkebalikan dengan prinsip Presiden Jokowi. September lalu, Presiden Jokowi sengaja mengundang para pengemudi ojek online untuk berdiskusi sambil makan siang di istana negara. Presiden pun memuji keberadaan layanan seperti Go-Jek sebagai solusi layanan transportasi yang memanfaatkan teknologi sehingga memudahkan masyarakat.
Dalam kunjungan ke Silicon Valley, Amerika Serikat beberapa waktu lalu, Go-Jek bahkan menjadi salah satu startup yang diikutsertakan sebagai contoh pemanfaatan digital kreatif untuk kemudahan masyarakat. Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) memprotes keras larangan Go-Jek beroperasi oleh Menteri Perhubungan (Menhub). Menurut BPKN, ojek telah diatur dan legal.
"Saya menyesalkan keluarnya surat Menteri Perhubungan yang melarang keberadaan ojek sebagai angkutan umum karena terlalu prematur," kata anggota BPKN Dr David Tobing. Seharusnya sebelum adanya pengaturan lebih lanjut tentang motor sebagai kendaraan umum, dicarikan solusi atas keberadaan ojek yang sudah berlangsung sejak lama dan menjadi ciri khas transportasi di Indonesia. Konsumen menjadikan ojek sebagai alternatif utama pengganti kendaraan umum yang dirasakan belum dapat memenuhi tuntutan masyarakat. Bahkan sejak adanya kerjasama pengojek dengan perusahaan penyelenggara jaringan makin banyak konsumen yang meminati dan sangat terbantu dengan transportasi ini.
"Sebenarnya kendaraan angkutan ojek sudah diklasifikasikan dan diakui sebagai lapangan usaha berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Nomor 57 Tahun 2009 dalam lampiran Nomor 49424 yang mengatur perihal Angkutan Ojek Motor," ujar David. Dalam aturan itu, diuraikan bahwa kelompok ini mencakup usaha pengangkutan penumpang dengan kendaraan bermotor roda dua seperti ojek sepeda motor. Di sisi lain, BPKN telah merampungkan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku berupa kajian tentang layanan transportasi berbasis aplikasi internet.
"Minggu depan akan mengeluarkan saran dan rekomendasi kepada pemerintah tentang keberadaan transportasi tersebut," ujar David. Lebih lanjut David Tobing berharap seluruh stakeholder termasuk kepolisian tidak gegabah dalam melakukan tindakan. Mengingat banyak sekali pekerja pekerja yang menjalankan lapangan usaha kendaraan angkutan ojek ini untuk mencari nafkah.
"Di lain pihak banyak sekali masyarakat atau konsumen yang membutuhkannya," pungkas David. Menhub Jonan mencabut larangan beroperasinya Go-Jek dkk. Jonan menegaskan, Kemenhub untuk sementara mempersilakan Go-Jek dkk beroperasi. "Ojek dan transportasi umum berbasis aplikasi dipersilakan tetap beroperasi sebagai solusi sampai transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak," kata Jonan di Jakarta, Jumat (18/12/2015).
Jonan menjelaskan, sesuai UU 22 thn 2009, kendaraan roda dua tidak dimaksudkan untuk angkutan publik. Namun realitas di masyarakat menunjukkan adanya kesenjangan yang lebar antara kebutuhan transportasi publik dan kemampuan menyediakan angkutan publik yang layak dan memadai.
"Kesenjangan itulah yang selama ini diisi oleh ojek, dan beberapa waktu terakhir oleh layanan transportasi berbasis aplikasi seperti Gojek dan lainnya," urai dia. "Terkait dengan aspek keselamatan di jalan raya yang menjadi perhatian utama pemerintah, dianjurkan untuk berkonsultasi dengan Korlantas Polri," tutup Jonan.
No comments:
Post a Comment