Sebelum pertemuan G-20 yang diadakan di Seoul, Korea Selatan, baru-baru ini, kita dibuat khawatir akan peluang timbulnya perang mata uang di perekonomian global. Namun, kekhawatiran tersebut ternyata tidak terwujud. Dalam pertemuan tersebut, negara-negara G-20 tampak sepakat untuk menunda pemecahan masalah nilai tukar ini, paling tidak sampai pertemuan berikutnya.
Pemicu utama munculnya isu perang mata uang adalah semakin membesarnya defisit perdagangan AS. Pada tahun 1993 defisit total perdagangan AS baru mencapai 115,6 miliar dollar AS, tetapi pada tahun 2000 sudah meningkat menjadi 436,1 miliar dollar AS.
Defisit perdagangan bahkan meningkat lagi menjadi 503,6 miliar dollar AS pada tahun 2009. Jadi, dalam hampir 20 tahun terakhir defisit perdagangan AS mengalami peningkatan sebesar 335 persen.
AS tentu saja tidak senang dengan perkembangan ini dan berusaha untuk memperbaiki neraca perdagangannya sebisa mungkin. Saat ini kebetulan China-lah yang memiliki surplus perdagangan terbesar dengan AS sehingga China menjadi sasaran utama AS untuk menekan defisit perdagangannya. Atau, dengan istilah AS, agar ketidakseimbangan global dapat diperbaiki.
Memang, perkembangan surplus perdagangan China dengan AS amat mencengangkan. Pada tahun 1993 defisit perdagangan AS dengan China hanya mencapai sekitar 22,8 miliar dollar AS. Jumlah ini sudah naik menjadi 83,8 miliar dollar AS pada tahun 2000 dan pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 226 miliar dollar AS (gambar 1).
Jadi, sampai dengan tahun 2009 defisit perdagangan AS dengan China sudah meningkat sekitar 170 persen dibandingkan dengan keadaan pada tahun 2000. Dan, situasi tampak semakin memburuk karena pada sembilan bulan pertama tahun 2010 ini defisit perdagangan AS dengan China sudah mencapai sekitar 201 miliar dollar AS.
Perlu dikemukakan di sini bahwa kenaikan nilai nominal surplus perdagangan AS tersebut bukan karena disebabkan oleh membesarnya ekonomi AS saja. Kenaikan tersebut terjadi karena memang secara riil ekonomi AS menjadi semakin banyak menyerap produk dari luar negara tersebut. Hal ini terlihat dari rasio defisit perdagangan AS terhadap PDB-nya, yang meningkat dari 1,7 persen pada tahun 1993 menjadi 4,4 persen pada tahun 2000, memuncak di 6,1 persen pada tahun 2005, dan pada tahun 2009 (karena pengaruh resesi di AS yang menurunkan permintaan produk impor) menurun ke kisaran 3,9 persen (gambar 2).
Kontribusi defisit dengan China cukup signifikan, mencapai sekitar 1,6 persen dari PDB AS pada tahun 2009. Karena itu, tidaklah mengherankan bila AS getol mencari cara agar defisit perdagangannya dengan China dapat ditekan. Dan, salah satu alasan yang oleh AS dianggap tepat adalah memaksa China memperkuat nilai tukar yuan dengan cepat.
Memang, selama ini pergerakan nilai tukar yuan terhadap dollar AS relatif terbatas karena Pemerintah China mengontrol nilai tukar yuan dengan ketat. AS berpendapat bila nilai yuan menguat dengan signifikan, daya saing produk China di pasar AS akan tergerus, sementara daya saing produk AS akan meningkat. Akibatnya, diharapkan defisit perdagangan AS dengan China (dan negara-negara lainnya di dunia) akan segera turun.
Ketidakseimbangan global tidak terjadi saat ini saja. Pada masa lalu terjadi beberapa kali ketidakseimbangan global yang berbuntut pada perubahan sistem finansial dunia.
Misalnya, setelah Perang Dunia Pertama banyak negara menjalankan kebijakan nilai tukar yang dijuluki beggar thy neighbor, di mana negara-negara berlomba-lomba melakukan devaluasi terhadap mata uangnya dengan harapan produknya menjadi lebih kompetitif di pasar global.
Kebijakan nilai tukar seperti ini dianggap sebagai faktor utama dibalik terjadinya gejolak perekonomian dunia pada tahun 1930-an, sekaligus juga faktor utama yang menyebabkan terjadinya kekacauan di sistem perdagangan dunia kala itu.
Setelah itu, negara-negara di dunia mencari bentuk baru sistem finansial global agar perekonomian dunia dapat terus bertumbuh secara berkesinambungan, misalnya pada tahun 1944 dibuat sistem Bretton Woods. Dalam sistem ini kebijakan beggar thy neighbor menjadi sesuatu yang dihindari. Proses penyesuaian global terhadap ketidakseimbangan yang terjadi diharapkan terjadi secara seimbang antara negara surplus dan negara defisit, di mana sistem cadangan devisa dan peran IMF diharapkan dapat menghindari terjadinya kejutan global yang berlebihan.
Sistem ini pada akhirnya berkembang menjadi apa yang disebut gold dollar system (dollar menjadi instrumen cadangan devisa internasional utama), di mana negara reserve utama (yaitu AS) menjadi tidak harus memperbaiki keadaan neraca perdagangannya.
Agar berjalan dengan baik, sistem ini juga mengharuskan negara reserve utama untuk menjalankan kebijakan moneter yang stabil.
Sistem ini akhirnya gagal karena dua faktor. Pertama, Perancis tidak menyukai posisi AS yang dianggap menerima keistimewaan yang berlebihan karena AS tidak harus memperbaiki ketidakseimbangan dari neracanya (payment imbalances). Yang kedua, sejak tahun 1965, AS mulai melakukan ekspansi kebijakan fiskal dan moneter yang berlebihan (inflationary) antara lain untuk membiayai perang Vietnam.
Kebijakan ini menyebabkan meningkatnya defisit AS, sekaligus meningkatkan cadangan devisa di banyak bank sentral di negara-negara Eropa.
Pada akhirnya keadaan ini mendorong Perancis dan negara Eropa lainnya untuk menukarkan cadangan dollar AS yang mereka miliki dengan emas (kepada Pemerintah AS), yang tentu saja menggerus cadangan emas AS dengan signifikan.
Akhirnya sistem Bretton Woods pun runtuh ketika Presiden AS Richard Nixon memutuskan untuk menghentikan penukaran emas tersebut pada tahun 1971.
Keadaan saat ini sering disamakan dengan keadaan pada pelaksanaan sistem Bretton Woods, di mana saat ini banyak negara berkembang mengumpulkan dollar AS (dalam bentuk cadangan devisa) sebanyak mungkin. China saja, misalnya, mempunyai cadangan devisa lebih dari 2 triliun dollar AS. Karena itu, banyak ekonom menganggap keadaan saat ini tidak akan berkesinambungan, seperti pada sistem Bretton Woods yang lalu.
Namun, menyalahkan keadaan ini timbul hanya karena China melakukan manipulasi nilai tukar rasanya tidaklah terlalu tepat. Tidak terlihat China melakukan devaluasi besar-besaran untuk meningkatkan daya saingnya dalam 10 tahun terakhir.
Sebaliknya, dalam lima tahun terakhir ini nilai yuan justru mengalami penguatan yang cukup lumayan, sekitar 19,9 persen terhadap dollar AS (tabel 1). Penguatan nilai yuan ini tampak belum dapat menurunkan defisit perdagangan AS dengan China seperti yang diharapkan (gambar 2). Perlu dikemukakan juga di sini bahwa nilai yuan juga menguat terhadap rupiah.
Sebaliknya, nilai dollar AS mengalami pelemahan yang cukup signifikan terhadap banyak mata uang dunia dalam lima tahun terakhir. Nilai yen Jepang, misalnya, sudah mengalami penguatan sebesar sekitar 43 persen terhadap dollar AS dalam lima tahun terakhir.
Tampaknya, justru AS yang melakukan kebijakan melemahkan mata uangnya. Pemerintah AS tentu saja membantah hal ini dan mengatakan pelemahan yang terjadi adalah karena konsekuensi kebijakan mereka untuk mendorong pertumbuhan ekonomi domestik mereka, termasuk langkah Bank Sentral AS, The Fed, untuk kembali membeli obligasi Pemerintah AS dalam jumlah yang besar dalam waktu dekat.
Diskusi di atas menunjukkan bahwa tuduhan AS bahwa China telah melakukan manipulasi mata uang untuk meningkatkan daya saing produknya tampaknya tidak mempunyai landasan yang terlalu kuat. Keadaan ini membuat ”perang mata uang” yang diantisipasi banyak orang akan terjadi pada pertemuan G-20 di Seoul minggu lalu dapat dihindari dengan relatif mudah.
Tampaknya AS harus lebih kreatif untuk memikirkan penyebab utama dari membengkaknya defisit perdagangan negaranya. Ada banyak masalah dalam negeri mereka sendiri yang harus mereka perbaiki untuk meningkatkan daya saing produk mereka di pasar global.
Purbaya Yudhi Sadewa Chief Economist Danareksa Research Institute
No comments:
Post a Comment