Selain menyesuaikan tiga asumsi tersebut, pemerintah juga menurunkan asumsi harga minyak (ICP) menjadi US$35 per barel atau turun US$15 per barel dari posisi sebelumnya di angka US$50 per barel. Sedangkan untuk target produksi minyak dan gas bumi siap jual atau lifting dipertahankan pada level yang sama dalam APBN 2016 masing-masing 830 ribu barel per hari dan 1.155 ribu barel setara minyak per hari.
Akibat turunnya asumsi ICP, Bambang menyebut target penerimaan negara dari sektor minyak dan gas bumi (migas) juga merosot. Pajak penghasilan Migas disebutnya turun Rp17 triliun, bahkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas direvisi turun sebesar Rp50,6 triliun. “Ditambah lagi pengurangan penerimaan di non migas, PNBP non migas khususnya hasil tambang yang perkiraannya turun hampir Rp25 triliun," jelas Bambang.
Dalam rangka mengamankan angka penerimaan negara seiring perubahan asumsi ekonomi tadi, kata Bambang, pemerintah akan menjaga penerimaan pajak dari sektor non migas. Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini mengungkapkan, pemerintah juga akan memaksimalkan kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty yang aturannya tengah menunggu persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Yang kita akan jaga adalah penerimaan di pajak non migas. Dan salah satunya yang paling penting adalah nanti penerapan dari tax amnesty," imbuhnya. Pada kesempatan berbeda, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyampaikan pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah ke depan ialah menyiasati defisitnya neraca keuangan negara menyusul diubahnya sejumlah asumsi makro ekonomi.
Guna menyelesaikan potensi tersebut, pemerintah kata Pramono juga akan menekan angka belanja Kementerian dan Lembaga. "Yang jelas pada semua kementerian diminta untuk hemat perjalanan dinas, rapat, belanja operasional dan moratorium gedung tetap dilakukan. Jadi tidak ada pembangunan gedung baru dimana saja supaya ini tersampaikan kepada semuanya," kata Pram.
Sementara itu Presiden Joko Widodo juga menekankan agar belanja negara difokuskan pada sektor infrastruktur.
"Belanja kita yang berkaitan dengan infrastruktur, fokuskan. Pada yang sudah berulang-ulang kali saya sampaikan, jangan lagi kita terjebak pada money follow function, semua dibagi pada organisasi-organisasi yang ada di kementerian, lembaga yang ada. Fokus jelas, prioritas juga harus jelas," tegasnya. Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju ekonomi masih akan melandai pada semester I 2016 selaras dengan rendahnya pertumbuhan kredit perbankan. Namun, bank sentral optimistis realisasinya dipenghujung tahun bisa menembus 5,6 persen.
Gubernur BI Agus D.W Martowardojo menjelaskan lesunya aktivitas ekonomi pada paruh pertama tahun ini sudah tercermin dari penyaluran kredit perbankan yang hanya tumbuh 9,53 persen selama Januari (year on year) Menurutnya, hal itu terkait pula dengan tren penurunan harga komoditas, terutama harga minyak mentah, yang berpengaruh negatif terhadap sektor swasta.
"Kita harapkan di 2016, pertumbuhan masih di kisaran 5,2-5,6 persen," kata Agus dalam forum investor forum Euromoney 2016, Jakarta, Selasa (22/3). Lihat juga:Jelang APBNP 2016, Menkeu Sebut Kurs Rp13.300 dan ICP US$35
BI mencatat realisasi kredit perbankan pada Januari 2016 sebesar Rp4.009,4 triliun, tumbuh 9,3 persen dibandingkan dengan realisasi periode yang sama tahun lalu (year on year). Penyaluran kredit pada awal tahun melambat jika dibandingkan dengan realisasi pertumbuhan Desember 2015 yang sebesar 10,1 persen (year on year). Perlambatan pertumbuhan kredit terutama terjadi pada kredit modal kerja (KMK) dan kredit investasi (KI).
Agus menjelaskan pelemahan permintaan KMK diakibatkan imbas penurunan harga komoditas dan aktivitas ekspor yang melemah. "Jadi kita bisa pahami kalau pertumbuhan ekonomi agak melemah di beberapa tahun Ini karena kita lihat selama 4 tahun harga-harga komoditas terus menurun," katanya.
Namun, lanjutnya, langkah stimulus yang dilakukan pemerintah dengan terus menggenjot belanja pemerintah diyakini akan berdampak positif terhadap dunia usaha. Hal itu diyakini akan memberikan efek lanjutan terhadap pengajuan pinjaman swasta ke bank. "Permintaan domestik memang masih menjadi andalan utama bagi pertumbuhan, tapi kalau dilihat sektor swasta dan rumah tangga semua harus lebih baik," ujarnya.
No comments:
Post a Comment