Tidak cuma itu, realisasi NPL industri BPR pada dua bulan pertama tahun ini juga mencerminkan memburuknya kualitas kredit dan jauh di atas ambang yang diperkenankan Bank Indonesia, yaitu 5 persen. "Tidak bisa kami pungkiri, rasio kredit macet memang meningkat. Namun, ini hal yang wajar karena NPL saat ini jangka pendek. Bulan Februari relatif lebih pendek dibandingkan bulan lainnya dan ada libur, sehingga mempengaruhi kerja collection," ujar Joko Suyanto, Ketua Umum Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo) .
Selain itu, karakter bisnis BPR yang didominasi oleh penyaluran kredit segmen usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) memang selama ini rawan macet. Hal ini dikarenakan, pengelolaan arus kas pelaku UMKM masih sangat terbatas. Di sisi lain, ekspansi kredit yang disalurkan BPR tidak sekencang tahun-tahun sebelumnya. BPR cenderung lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit baru. Terbukti dengan pertumbuhan kredit yang tercatat single digit. Per Februari 2016, pertumbuhan kredit BPR cuma naik 8,69 persen menjadi Rp75,4 triliun dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Padahal, mengutip data Perbarindo, pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dan asetnya mampu mencapai lebih dari 10 persen. DPK BPR mekar hingga 13,04 persen menjadi Rp84,3 triliun per Februari 2016 dan asetnya naik 13,55 persen. "NPL memang masih menjadi isu di industri BPR. Namun, itu pun karena BPR banyak bermain di segmen UMKM yang notabene risiko kreditnya tinggi. Tetapi, sebetulnya, tidak semua BPR punya NPL tinggi. Ada juga BPR yang dapat menjaga rasio NPL mereka di bawah satu persen, meskipun ada juga yang menyentuh 10 persen," terang Joko.
Ambil contoh, BPR Bekasi Binatanjung Makmur. Bank yang beroperasi di wilayah Bekasi tersebut mampu menjaga rasio NPL-nya di kisaran 4 persen. Raihan ini jauh lebih rendah kalau dibandingkan posisi tahun lalu sebesar 8 persen dan 11 persen pada akhir tahun 2014 lalu. Strateginya, yakni menjaga pertumbuhan kredit dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian dan konsentrasi membenahi kredit bermasalah. "Dua tahun terakhir, kami fokus membenahi NPL. Kami membentuk tim remedial collection untuk restrukturisasi dan lelang kredit macet. Karenanya, tidak terlalu getol dalam ekspansi kredit," kata Hiras L Tobing, Direktur BPR Bekasi Binatanjung Makmur.
Tahun ini kelompok Bank Perkreditan Rakyat (BPR) harus lebih hati-hati dalam menjalankan aktivitas usahanya, akibat tingkat rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) yang tinggi kembali mengancam penyaluran kredit BPR. tatistik Perbankan Indonesia (SPI) seperti dilansir Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, rasio NPL BPR pada Januari 2016 meningkat nyaris menyentuh 6 persen. Realisasi itu jauh di atas batas maksimum yang ditetapkan Bank Indonesia (BI), yaitu maksimal 5 persen.
Akhir tahun lalu saja rasio NPL BPR sudah menyentuh angka yang cukup mengkhawatirkan yakni 5,37 persen. Pencapaian ini merupakan level tertinggi dalam lima tahun terakhir, setelah 4,75 persen pada 2012, lalu 4,41 persen pada 2013 dan 4,75 persen pada akhir 2014. Secara nilai, kredit macet industri BPR mencapai Rp4,43 triliun sampai Januari 2016. Angka itu terdiri dari Rp2,31 triliun masuk kategori kredit macet, Rp1,12 triliun kredit kurang lancar, dan Rp902 miliar yang statusnya diragukan.
Sementara, total kredit yang disalurkan BPR sebesar Rp74,76 triliun sampai akhir Januari 2016. Realisasi ini cenderung turun kalau dibandingkan dengan posisi Desember tahun lalu sebesar Rp74,8 triliun. Hiras Lumban Tobing, Direktur BPR Bekasi Binatanjung Makmur menjelaskan tren perlambatan pertumbuhan kredit industri BPR karena pelaku lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Upaya ini sekaligus untuk meningkatkan kualitas kredit.
"BPR Bekasi Binatanjung Makmur sendiri sudah dua tahun terakhir ini fokus membenahi kredit bermasalah. Sehingga, kami tidak terlalu getol dalam ekspansi kredit," jelas Hira. Alhasil, NPL BPR Bekasi Binatanjung Makmur menciut dari 11 persen (gross) pada 2014 lalu menjadi hanya 8 persen pada akhir tahun lalu. "Hingga Maret 2016, NPL kami sudah terjaga pada level 4 persen," ujarnya.
Hiras menegaskan, pihaknya tengah fokus melakukan remedial collection. Ini merupakan upaya perseroan dalam membenahi kredit-kredit bermasalah dengan berbagai cara, mulai dari restrukturisasi, lelang hingga melakukan gugatan. "Kalau dulu, kami melakukan penindakan setelah kreditnya bermasalah. Sekarang kami ubah, kami beri peringatan bertahap untuk setiap keterlambatan. Kami menargetkan kredit bermasalah dibawah 3 persen," terang Hiras.
Ambisi pemerintah dan otoritas keuangan nasional yang mendorong penurunan suku bunga pinjaman atau kredit hingga single digit berpotensi mengancam nasib bisnis Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Chief Economist PT Bank Mandiri Anton Gunawan berpandangan, kebijakan pemerintah menekan suku bunga pinjaman (lending rate) menjadi single digit berisiko menurunkan likuiditas hingga menurunkan daya saing BPR dalam mencari nasabah.
Sebab menurut Anton, selama ini beban pengeluaran atau overhead cost yang harus ditanggung BPR dalam mencari dana pihak ketiga (DPK) lebih tinggi jika dibandingkan dengan overhead cost yang ditanggung oleh bank umum yang nasabahnya mayoritas korporasi. Ia menjelaskan lebih besarnya overhead cost BPR dilatarbelakangi lantaran selama ini BPR menerapkan model jemput bola, sehingga membutuhkan tenaga kerja dan sumber daya lebih banyak untuk pendekatan pelayanan secara personal ke nasabahnya.
"Penyaluran pinjaman yang dilakukan oleh BPR itu lebih sulit dan lebih mahal jika dibandingkan dengan bank umum yang ke korporasi. Di BPR, overhead cost untuk segmen UKM dan mikro bisa sampai 7 persen," kata Anton usai diskusi ekonomi di Universitas Katolik Atma Jaya, Jakarta, Senin (21/3). Anton juga memprediksi, jika nantinya tingkat lending rate diturunkan menjadi maksimal 9 persen maka akan sangat sulit bagi BPR dalam menentukan suku bunga pinjaman untuk kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Ini mengingat suku bunga BPR untuk UKM saat ini berada di level 11 persen hingga 12 persen.
“BPR bakal kewalahan, tutup langsung. Program financial inclusion tidak berjalan kalau yang kecil-kecil saja tutup. Untuk komersil paling juga bisa didorong kesana, tapi kalau untuk UKM dan mikro saya ragu," cetusnya. Berangkat dari hal ini, ia juga mengingatkan pemerintah untuk berhati-hati dalam menerapkan bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang sebesar 9 persen.
Anton mengatakan, pemerintah harus menetapkan fokus tujuan dari penerapan kebijakan bunga KUR yang rendah, sehingga penyaluran KUR tidak menjadi salah sasaran. "KUR ini tujuannya kemana sih fokusnya? apakah pada entrepeneurship in general yang dikaitkan dengan lower income, atau malah adanya migrasi perpindahan pinjaman bank? Kalau akibatnya malah yang tadinya mengambil kredit bank biasa, malah sebagian beralih ke KUR. Itu enggak bagus. Bahayanya di situ," imbuhnya.
Seperti diketahui, dalam rangka memenuhi ambisi penurunan suku bunga pinjaman pemerintah juga akan mengambil sejumlah langkah yang menyebabkan DPK ditarik dalam jumlah besar. Salah satu cara yang akan ditempuh ialah menerbitkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang mengharuskan asuransi dana pensiun wajib memegang surat utang negara (SUN) yang menyebabkan DPK perbankan bisa berkurang hingga Rp63 triliun.
Selain menerbitkan peraturan OJK teranyar, Kementerian Keuangan juga berencana merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memaksa pemerintah daerah (Pemda) segera membelanjakan anggaran mereka. Jika tidak dibelanjakan, Pemda harus menyimpan dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Anton memprediksi peraturan ini akan menurunkan likuiditas perbankan karena ada potensi penarikan dana sebesar Rp50 triliun.
Mengacu pada kebijakan tadi Anton bilang, sudah seyogyanya langkah penurunan suku bunga kredit juga dilihat per segmen dengan durasi waktu yang lebih panjang. Di mana penurunan pertama kali bisa dilakukan pada segmen kredit korporat yang saat ini sedikit di atas 10 persen. “Saya sepakat dengan penurunan lending rate, tapi tidak bisa cepat seperti ini,” tambahnya.
Selain menerbitkan peraturan OJK teranyar, Kementerian Keuangan juga berencana merilis Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang memaksa pemerintah daerah (Pemda) segera membelanjakan anggaran mereka. Jika tidak dibelanjakan, Pemda harus menyimpan dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN). Anton memprediksi peraturan ini akan menurunkan likuiditas perbankan karena ada potensi penarikan dana sebesar Rp50 triliun.
Mengacu pada kebijakan tadi Anton bilang, sudah seyogyanya langkah penurunan suku bunga kredit juga dilihat per segmen dengan durasi waktu yang lebih panjang. Di mana penurunan pertama kali bisa dilakukan pada segmen kredit korporat yang saat ini sedikit di atas 10 persen. “Saya sepakat dengan penurunan lending rate, tapi tidak bisa cepat seperti ini,” tambahnya.
No comments:
Post a Comment