“(Perluasan obyek cukai) ini masih didiskusikan. Intinya nanti akan mencakup semua jenis yang memakai kemasan, bukan hanya botol (minuman) plastik. Kayak (kemasan) minyak goreng, oli itu nanti juga kena, tidak hanya minuman," tutur Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro usai menghadiri Rapat Kerja dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (12/4) malam.
Bambang mengungkapkan kebijkan ini bertujuan untuk mengendalikan pemakaian plastik guna menjaga kelestarian lingkungan. "(Pengenaan) cukai itu supaya pemakaian atau konsumsi plastik tidak luar biasa besar sehingga menimbulkan sampah-sampah yang sangat sulit untuk di-recycle," jelas Bambang.
Menurut Bambang, kebijakan pengenaan cukai ini tidak akan membebani dunia usaha. Pasalnya, besaran pungutan cukai kecil. “Saya pikir tidak (akan membebani industri) karena kami mengenakan tarif cukainya kecil dan tentunya harus dihitung biaya yang besar terhadap lingkungan karena sampah-sampah ini tidak bisa diurai,” ujar Guru Besar Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini.
Bambang menyatakan masih menghitung potensi setoran cukai yang akan ditemui. Rencananya, pengenaan cukai kemasan plastik akan menggunakan tarif spesifik. Diperkirakan, besaran pungutan akan lebih kecil dari harga kantong plastik yang dibebankan pada masyarakat saat berbelanja di toko retail atau tidak lebih dari Rp200 per kemasan.
Pemerintah mempertimbangkan untuk mengenakan cukai atas konsumsi botol plastik minuman kemasan sejalan dengan strategi ekstensifikasi objek pungutan. "Usulan barang kena cukai lain, sedang dikaji untuk kemasan plastik dalam bentuk botol minuman," kata Kepala Kepabeanan dan Cukai Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nasrudin Joko Suryono di Hotel Sahid, Jakarta, Selasa (12/4).
Terkait besaran tarif cukai, Nasrudin belum bisa mengungkapkan. Namun, kemungkinan besar skema pengenaan cukai atas botol minuman plastik menggunakan tarif spesifik. Tarif spesifik atas cukai biasanya dengan menetapkan persentase tertentu atas harga jual eceran produk. "Tidak akan terlalu tinggi,Misalnya Rp500 per botol. Itu kan (terlalu) tinggi banget," katanya.
Nasrudin mengungkapkan selama ini cukai atau istilahnya 'pajak dosa' hanya dikenakan untuk produk hasil tembakau, etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol dan minuman keras. Minimnya obyek cukai tersebut mendorong pemerintah melakukan upaya ekstensifikasi.Menurutnya, alasan pengenaan cukai terhadap botol minuman plastik karena keberadaaan bisa merusak lingkungan.
"Cukai dikenakan (pada botol minuman plastik) karena alasan menjaga kelestarian lingkungan sebab sampah plastik baru bisa terurai dalam waktu 100 tahun," ujarnya. Dia mengatakan, pemerintah memperkirakan kebutuhan plastik di Tanah Air pada tahun ini meningkat 6,6 persen, dari 3 juta ton pada 2015 menjadi 3,2 juta ton. Pertumbuhan konsumsinya, lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan perekonomian.
Dari sisi kesehatan, lanjut Nasrudin, pengenaan cukai atas produk kemsan plastik ini juga diharapkan bisa menekan konsumsi minuman manis dalam kemasan. Sebagai pembanding, lanjut Nasrudin, Ghana, Hungaria, dan India telah lebih dulu memungut cukai dari botol minuman plastik. Bahkan, Ghana memungut cukai sebesar 10 persen karena alasan pencemaran lingkungan. Meskipun negara negara maju yang biasanya jadi alasan pembenaran untuk menaikan harga di Indonesia karena dianggap murah tidak satupun memungut cukai plastik terutama karena sistem pengolahan limbah oleh pemerintah negara maju berjalan baik.
Terkait potensi penerimaan yang akan diterima negara dan besaran cukai yang akan dipungut Nasrudin menyatakan hal itu masih dikaji. "Kami lagi kaji berapa besarannya (tarif cukai botol minuman plastik). Nanti akan masuk di (pembahasan) APBN-P (APBN-P 2016)," ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S. Lukman tegas menolak rencana pengenaan cukai atas produk kemasan minuman plastik. "Kami seratus persen menolak. Kami tidak ada kompromi tentang ini," ujar Adhi.
Menurut Adhi, dasar pemungutan cukai pada botol minuman plastik tidak kuat. Apabila menggunakan alasan kelestarian lingkungan, Gapmmi memiliki bukti bahwa botol minuman plastik hampir sulit ditemukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah."Hal itu karena botol minuman plastik telah diambil orang untuk didaur ulang," ujarnya. Selain itu, Adhi pesimistis pemerintah mampu mengimplementasikan kebijakan itu dengan baik, terutama dalam hal penegakan hukum dan pengawasan."Nanti rumah tangga yang berjualan menggunakan botol plastik untuk jus, kopi, menagih cukainya bagaimana?" tanyanya.
Sebagai informasi, tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp146,4 triliun dalam APBN 2016. Hingga kuartal I 2016, realisasi setoran cukai baru mencapai Rp7,9 triliun atau 5,4 persen dari target. Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai rencana pemerintah mengenakan cukai pada botol minuman plastik kurang tepat dilakukan saat ini. Pasalnya, meskipun besaran cukai tidak besar, kebijakan itu akan mengganggu psikologis dunia usaha, khususnya industri makanan dan minuman.
"Yang mesti dijaga adalah bagaimana iklim usaha kondusif dulu. Karena apa? selama 2015 kan memang sektor industri makanan dan minuman agak tertekan," tutur Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati usai menghadiri sebuah acara di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Selasa (12/4).
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, industri makanan dan minuman tahun lalu hanya tumbuh 7,54 persen dibandingkan tahun 2014 (pertumbuhan riil menggunakan basis tahun 2010). Angka itu melambat jika dibandingkan tahun 2014, di mana industri makanan dan minuman tumbuh 9,49 persen.
Selain itu, lanjut Enny, komponen makanan dan minuman olahan peranannya besar pada inflasi Indonesia. Tak hanya itu, industri ini juga menyerap tenaga kerja. "Menurut saya dalam jangka pendek ini industri-industri strategis yang mempunyai pertumbuhan tinggi, yang mempunyai porsi terhadap tenaga kerja cukup signifikan, ini jangan diganggu dulu," ujarnya.
Pada dasarnya, Enny mendukung rencana ekstensifikasi sumber penerimaan negara. Kendati demikian, hal itu harus dilakukan dengan perencanaan dan pertimbangan yang matang. Lebih lanjut, Enny menilai, alih alih melakukan ekstensifikasi objek cukai, pemerintah sebaiknya mendorong penerimaan pajak yang masih belum optimal. Kebijakan pengenaan cukai, menurut Enny, lebih untuk upaya pengendalian konsumsi.
"Kalau ekstensifikasi ini utamanya untuk penerimaan negara itu cari yang lain, jangan cukai, karena cukai itu lebih kepada fungsi pengendalian sebenarnya," ujarnya. Sebagai informasi, tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan cukai sebesar Rp146,4triliun dalam APBN 2016. Hingga kuartal I 2016, realisasi setoran cukai baru mencapai Rp7,9 triliun atau 5,4 persen dari target.
No comments:
Post a Comment